Sukses

KPK Terus Dalami Rapat Hakim MK Terkait Dugaan Suap Uji Materi

Febri mengaku, pihaknya akan mendalami dugaan tersebut lewat rekaman CCTV yang sudah disita oleh KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan suap uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjerat mantan hakimnya, Patrialis Akbar.

Salah satu yang didalami oleh penyidik adalah terkait pertemuan-pertemuan atau rapat yang dilakukan para hakim MK dalam menentukan draft putusan UU Nomor 41 Tahun 2014 tersebut.

"Rapat yang tercatat sampai disebut amar putusan ada dua kali. Jika ada rapat lain itu juga didalami. Apa yang dibicarakan, siapa yang hadir, proses wajar atau tidak," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (2/3/2017).

Draft putusan tersebut diketahui telah diterima oleh pihak lain di luar para hakim MK, yakni Kamaludin yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Febri mengaku, pihaknya akan mendalami dugaan tersebut lewat rekaman CCTV yang sudah disita oleh KPK.

"Kami akan sesuaikan waktu kapan draf keluar, kapan rapat, kami cek CCTV dan keterangan saksi yang ketahui ada permintaan dari hakim bawa draft putusan," kata Febri.

Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Patrialis diduga melakukan suap uji materi UU No 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, KPK juga ikut mengamankan Kamaludin (KM) yang diduga sebagai perantara suap.

Patrialis disangka menerima suap dari Basuki Hariman (BHR) dan NG Fenny (NGF). Basuki merupakan ‎bos pemilik 20 perusahaan impor daging, sedangkan NG Fenny adalah sekertarisnya.

Oleh Basuki, Patrialis Akbar dijanjikan uang sebesar USD 20 ribu dan SGD 200 ribu. Diduga uang USD 20 ribu dan SGD 200 ribu itu sudah penerimaan ketiga. Sebelumnya sudah ada suap pertama dan kedua.

Dugaan Kartel Sepeda Motor

Selain itu, KPK juga bakal turun tangan terkait kasus dugaan kartel yang dilakukan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) dalam menentukan harga motor matic.

"Sepanjang ada indikasi tindak pidana korupsi, tentu kami akan tindak lanjuti," ujar Febri Diansyah.

KPK juga berharap adanya unit pencegahan tindak pidana korupsi di setiap perusahaan. Terlebih hal itu sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung (MA)

"Kami berharap di lingkungan perusahan dibentuk lingkungan pencegahan sesuai dengan peraturan MA," kata Febri.

Dalam hal ini, dia mengaku sudah berkomunikasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Diketahui sebelumnya, Majelis KPPU menilai YIMM dan AHM melakukan praktik culas dan kongkalikong dalam menentukan harga motor matic 110-125 cc di Tanah Air.

Hal tersebut jelas merugikan konsumen. YIMM dan AHM dianggap telah mengangkangi Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal itu menyebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa.

Majelis KPPU menyebut YIMM dan AHM sengaja membuat mahal harga skutik dari banderol sewajarnya.

Sementara itu, Deputy Head of Corporate Communication PT Astra Honda Motor Ahmad Muhibbuddin membantah tuduhan KPPU tersebut. "Tuduhan tersebut tidak benar. Vonis KPPU belum memiliki kekuatan hukum tetap Karena itu AHM akan melakukan banding ke proses pengadilan yang lebih tinggi," kata dia. (Baca juga: Honda: KPPU Mengambil Kesimpulan Sendiri)

Soal harga motor, ia menegaskan, tidak ada rencana penurunan harga karena saat ini sudah kompetitif sesuai dengan produk dan teknologi yang ada pada sepeda motor. Menurutnya, banyak faktor yang menentukan harga motor saat ini, mulai dari biaya produksi hingga beragam biaya perpajakan yang dibayarkan ke kas negara.

"Kami hormati keputusan KPPU meski dari awal kami sudah membantah materi yang dituduhkan. Tidak ada kartel dan kesepakatan pengaturan harga. Dalam persidangan juga terlihat fakta hukum yang diajukan investigator lemah dan tidak berdasar, termasuk bukti komunikasi menggunakan email yang tidak pernah terjadi antara Yamaha dan Honda. Yang ada hanya komunikasi internal Yamaha," Ahmad menegaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.