Sukses

Akademisi: Tragedi Mina Momentum Perbaikan Penyelenggaraan Haji

Meski demikian, penyelenggaraan ibadah haji sulit untuk mengadopsi gaya Vatikan. Sebab, geopolitik keduanya berbeda.

Liputan6.com, Jakarta - Tragedi Mina pada Kamis 24 September lalu menandakan pentingnya perbaikan penyelenggaraan haji. Model penyelenggaraan ibadah seperti di Vatikan pun menjadi salah satu pilihan.

"Di Vatikan, pada 1929, pemerintahan oleh Paus, ada hubungan luar negeri, urusi uang, dan angkatan perang. Mereka lalu lakukan perjanjian dengan Italia, berdasarkan perjanjian itu, Vatikan diberi tanah 44 hektare," kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah‎ Syafiq Hasyim, di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat 2 Oktober 2015.

‎"Mereka bisa selenggarakan ibadah terpisah dari Italia. Apakah bayangan kita Twin Holly City ketika diusulkan jadi ranah pengelolaan internasional modelnya seperti Vatikan," tambah dia.

Vatikan, lanjut Syafiq, ‎memiliki polisi yang berasal dari bantuan Swiss dan polisi pamong praja. Mereka bertugas mengatur ketertiban orang-orang yang berziarah di Vatikan.

"Peak season saat Natal dan ratusan ribu hingga jutaan yang datang ke Vatikan," ujar Syafiq.

‎‎Meski demikian, penyelenggaraan ibadah haji sulit untuk mengadopsi gaya Vatikan. Sebab, geopolitik keduanya berbeda.

"Geopolitik Vatikan dan Islam di Mekah-Madinah tidak sama. Nanti siapa yang paling berdaulat di Tanah Suci ketika jadi wilayah internasional. Tidak ada kepemimpinan hirarki, kecuali mereka pakai sistem Syiah. Instruksi dari atas sama," tutur dia.

"Tidak pernah kita bayangkan umat Islam konflik soal Madinah, tak bisa dibayangkan akibatnya seperti apa," tegas Syafiq.

Keselamatan Haji

‎Syafig menjelaskan, dalam data yang ia miliki, sebagian besar jemaah haji yang berangkat ke Tanah Suci adalah lulusan S1. Artinya, lanjut dia, tanda bahaya yang dipasang dapat dimengerti.

"‎Kalau di Mekah dan Madinah, diberi tanda emergency, seperti kalau keluar dari terowongan dan sebagainya, mereka akan cepat baca. Kalau tidak bisa Arab, maka bisa bahasa Inggris," tutur dia.

Namun, yang menjadi masalah, 55 persen jemaah haji berjenis kelamin perempuan, dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini jadi salah satu faktor dibutuhkannya upaya lebih dalam menjaga keselamatan jemaah.

Upaya lebih itu diperlukan karena angka kematian jemaah Indonesia cukup tinggi. Di Iran, pada 2004 dari 100 ribu jemaah haji yang meninggal dunia hanya 5 orang. "Di Indonesia sampai 2008,  200-300 orang per 100 ribu," tandas Syafiq. (Ron/Nda)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini