Sukses

'Bulan Madu' Praperadilan Berakhir?

3 Kasus ini seolah mementahkan anggapan bahwa PN Jaksel "sangat ramah" terhadap tersangka korupsi yang mengajukan praperadilan.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencatat sejarah baru lagi. Sepanjang Selasa 7 Juli kemarin, pengadilan ini menolak permohonan gugatan praperadilan yang diajukan 2 tersangka kasus korupsi.

Pada kasus pertama, gugatan yang diajukan mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, dalam sidang praperadilan harus terhenti. Hal itu dikarenakan hakim tunggal yang memimpin jalannya persidangan, Ganjar Pasarribu, menggugurkan gugatan yang bersangkutan.

Sementara eksepsi atau keberatan yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai termohon dalam sidang praperadilan kali ini dikabulkan oleh hakim Ganjar Pasarribu.

Dalam eksepsi tersebut dijelaskan, kasus dugaan korupsi yang menyeret Barnabas Suebu telah masuk dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Mengadili, menyatakan, dan memutuskan gugatan praperadilan yang diajukan pemohon untuk dinyatakan gugur demi hukum. Eksepsi termohon dapat diterima dan praperadilan dinyatakan gugur," ujar Ganjar Pasarribu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Detiling Enginering Design PLTA tahun anggaran 2009-2010.

‎Pada proyek senilai Rp 56 miliar tersebut, Barnabas disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Tak hanya Barnabas, PN Jaksel melalui hakim Riyadi Sunindyo juga menolak permohonan praperadilan Bupati Sarmi, Papua, Mesak Manimbor. Riyadi mengatakan prosedur penetapan tersangka, penyitaan, dan penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung telah sesuai prosedur dan sah.

"Menolak seluruhnya, penetapan tersangka adalah sah, surat perintah penahanan sah, penyitaan yang dilakukan termohon adalah sah," kata Riyadi saat membacakan putusan, Selasa siang.

Barnabas Suebu membantah isi dakwaan dan berencana akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) pada persidangan pekan depan,  Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/7/2015). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Prosedur tersebut, menurut hakim Riyadi, dianggap sah karena kejaksaan sebagai termohon telah melakukan penyidikan dengan menggelar pemeriksaan terhadap setidaknya 11 saksi.

Selain itu, penyidik telah memperlihatkan dokumen yang menegaskan mereka telah menyita sejumlah alat bukti permulaan.

Penetapan Mesak juga didukung dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa tersangka telah merugikan negara sekitar Rp 4,6 miliar.

Selain itu, hakim juga menolak gugatan mengenai penyitaan dan penahanan aset Bupati Sarmi. "Permohonan ditolak seluruhnya. Dengan demikian, tidak perlu lagi mempertimbangkan sisa permohonan selebihnya," kata Riyadi.

Tim gabungan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Daerah (Polda) Papua pada 14 Mei 2015 sekitar pukul 02.30 WIT menangkap Mesak Mandibor di kediamannya di Sarmi dan diterbangkan ke Jakarta.

Penangkapan Mesak terkait dugaan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sarmi Tahun Anggaran 2012 senilai Rp 4,5 miliar. Kejaksaan Agung yang menangani kasus tersebut sudah menetapkan Bupati Sarmi sebagai tersangka sejak Oktober 2014.

Dana senilai Rp 4,5 miliar tersebut diduga digunakan untuk membangun pagar dan memperbaiki rumah pribadi Mesak di Kompleks Perumahan Neidam, Kabupaten Sarmi. Mesak saat ini mendekam di Rumah Tahanan Negara Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Sebelumnya, permohonan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Pertamina, Suroso Atmomartoyo, juga ditolak hakim PN Jaksel. Suroso sendiri telah mengajukan permohonan praperadilan sebanyak 2 kali.

Suroso Atmo Martoyo menghadiri sidang dengan agenda eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, (29/6/2015). Suroso didakwa terkait dugaan suap proyek pengadaan zat tambahan bahan bakar tetraethyl lead (TEL) Pertamina 2004-2005. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Permohonan praperadilan pertama dinyatakan ditolak oleh PN Jaksel pada 14 April 2015. Penolakan tersebut dilakukan karena materi penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyidikan bukan termasuk ke dalam objek praperadilan, mengacu pada Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf (b) jo Pasal 95 Ayat 1 dan 2 KUHAP.

Suroso menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah atas kasus suap pengadaan zat tambahan bahan bakar TEL (tetraethyl lead) 2004 dan 2005. Suroso disangka mengantungi duit suap dari Direktur PT Soegih Indrajaya, Willy Sebastian Liem.

Permohonan kedua juga bernasib sama pada pertengahan Juni lalu. Hakim menilai kasus ini gugur karena pidana pokoknya sudah disidangkan di PN Tipikor.

Dari Budi ke Hadi

3 Kasus ini seolah mementahkan anggapan bahwa PN Jaksel 'sangat ramah' terhadap tersangka korupsi yang mengajukan permohonan praperadilan. Lihat saja, 3 tersangka kasus korupsi yang mengajukan permohonan praperadilan di PN Jaksel atas penetapan tersangka mereka dikabulkan majelis hakim.

Pertama, saat kasus Komjen Pol Budi Gunawan yang dimohonkan adalah status Budi Gunawan ketika melakukan tindak pidana korupsi. Namun, hakim memutuskan Budi Gunawan saat itu masih Kepala Biro SDM (eselon II) dan bukan pejabat hukum. Karena bukan penyelenggara negara jadi dianggap hakim bukan kewenangan KPK, karena kewenangan KPK adalah penyelenggara negara.

Kedua, kasus praperadilan mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Dalam kasus ini, hakim mempermasalahkan alat bukti yang diberikan KPK. Plt Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki mengaku sangsi dengan proses praperadilan. Sebab, praperadilan bukan tempatnya membuktikan keabsahan alat bukti.

Ilham Arief Sirajuddin (Liputan6.com/Dok)
 
"Kami sudah memberikan bukti bentuk fotokopi tapi dianggap tak bisa. Kalau praperadilan sudah menguji alat bukti, buat apa ada pengadilan berikutnya. Kami kurang simpatik," kata dia.
 
Terakhir, kasus mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Hakim mempermasalahkan adanya penyelidik dan penyidik di luar Polri. Padahal, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah mengatur bahwa KPK mempunyai kekhususan dan dapat mengangkat penyidik sendiri yang telah menangani sejumlah kasus sejak 2005.

Berkaca pada kasus tersebut, sejumlah tersangka kasus korupsi yang dijerat KPK kemudian beramai-ramai mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jaksel. Harapannya, status tersangka mereka bisa dihapus sebelum kasusnya sendiri disidangkan.

Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah memberi 'lampu hijau' bagi para tersangka mempertanyakan statusnya di persidangan praperadilan yang sebelumnya sama sekali tak tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Revisi KUHAP Ala MK

Lantaran itu pula, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap KUHAP.

Mahkamah menyatakan, Pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

Mahkamah mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.

"Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan dalam persidangan akhir April lalu.

Gedung MK

"Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah 'penetapan tersangka oleh penyidik' yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas," tambah Anwar.

Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.

Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti.

Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

"Bahwa asas due process of  law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum," ujar Anwar.

Dalam putusan ini, tiga hakim memberikan dissenting opinion. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Mereka menganggap dalam Pasal 77, penetapan tersangka tetap bukan menjadi bagian dari obyek praperadilan.

Tak Semuanya Praperadilan

Meski mengajukan status tersangka sebagai objek permohonan praperadilan kini tak lagi 'haram', tidak semuanya meyakini langkah itu efektif. Ketua nonaktif KPK Abraham Samad, misalnya, mengatakan tidak berminat mengajukan praperadilan terkait kasus hukum yang menimpanya. Samad tetap akan mengikuti proses hukum yang berjalan.

"Saya tak berminat praperadilan. Karena praperadilan kita ini tidak menjanjikan kebenaran," kata Samad di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis 2 Juli 2015.

Samad kini tengah menyandang status tersangka pada 2 kasus. Pertama, kasus dugaan pemalsuan dokumen yang disidik Polda Sulselbar. Yang kedua kasus dugaan penyalahgunaan wewenang sebagai Ketua KPK karena diduga berpolitik jelang Pemilihan Presiden 2014.

Abraham Samad saat tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjadi saksi  di sidang perdana praperadilan Novel Baswedan, Kamis (4/6/2015). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Mungkin keengganan Samad juga dikarenakan dia sangat paham hukum sehingga menyadari kalau permohonan praperadilan sebenarnya tak akan banyak mengubah pokok perkara. Hal ini pula mungkin yang banyak disalahartikan oleh publik, bahkan tersangka sendiri.

Praperadilan hanyalah sebuah sarana untuk menguji proses hukum yang telah dilakukan oleh aparat di pengadilan negeri terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan, serta sah atau tidaknya penyitaan barang bukti.

Jika ditambahkan lagi dengan putusan MK, maka penetapan sebagai tersangka dan penggeledahan juga termasuk dalam objek ini.

Artinya, praperadilan sama sekali tidak berada dalam posisi untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak atas apa yang disangkakan, karena praperadilan memang tidak menyoal pokok perkara.

Karena itu, apa pun putusan PN Jaksel saat menyidangkan praperadilan seharusnya tak perlu dibesar-besarkan. Kendati seluruh permohonan seluruh tersangka diterima PN Jaksel, misalnya, itu bukan kiamat bagi KPK atau aparat hukum lainnya seperti kepolisian atau kejaksaan.

Aparat penegak hukum bisa memulai proses dari awal dengan membuat koreksian sesuai putusan praperadilan untuk tersangka yang sama. Jadi, praperadilan bukan persoalan besar karena tak ubahnya seperti persidangan kasus ringan lainnya. Karena itu pula, hakim yang menyidangkan kasus praperadilan adalah tunggal, bukan kolektif. (Ado/Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini