Sukses

Ganasnya Gelombang Panas

Prancis adalah negara dengan korban jiwa terbanyak karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah atas fenomena gelombang panas sebesar itu.

Liputan6.com, Jakarta - Apa yang akan Anda lakukan jika merasa kepanasan? Jawabannya bisa dengan meminum air yang dingin, menyiram kepala dengan air atau malah membuka baju lalu berendam di air. Namun, bagaimana jika panas itu melebihi seperti yang kita rasakan sebelumnya. Boleh jadi mirip suhu udara di gurun yang membuat hanya sedikit makhluk yang bisa bertahan hidup.

Suhu lebih dari 30 derajat Celcius saja sudah membuat kita berkeringat. Lalu bagaimana jika suhunya bisa naik, bahkan nyaris 2 kali. Mungkin kita bisa pingsan, parahnya bisa-bisa kehilangan nyawa. Seperti yang terjadi di India, terutama Provinsi Andhra Pradesh dan Telangana yang mengalami gelombang panas yang mengerikan. Suhu rata-rata saat siang mendekati 50 derajat Celcius.

Sebuah suhu yang dapat mengakibatkan manusia selalu kehausan dan tidak betah di rumah. Meminum banyak air pun tidak akan banyak membantu. Akibat kondisi tersebut, korban jiwa pun berjatuhan.

"Suhu yang melonjak di bagian India selatan dan utara dalam gelombang panas ekstrem menewaskan lebih dari 500 orang dan tampaknya korban akan terus bertambah minggu ini," kata para pejabat seperti dikutip dari Reuters.

"Sebagian besar kematian terjadi di selatan India, Telangana dan Andhra Pradesh, di mana lebih dari 140 orang tewas sejak Sabtu 23 Mei 2015," demikian seperti diberitakan BBC, Selasa (26/5/2015).

Tempat terpanas di India adalah Allahabad, sebuah kota di Negara Bagian Uttar Pradesh, suhunya mencapai 47,7 derajat Celcius (117,8 Fahrenheit) pada hari Minggu 24 Mei. Sementara ibukota Delhi 43,5 derajat Celcius (110.3F).

Pihak berwenang telah mendesak masyarakat untuk tinggal di dalam rumah dan minum banyak cairan.

Kondisi gelombang panas terparah yang melanda 2 negara bagian India selatan terjadi sejak pertengahan April. Tetapi sebagian besar kematian terjadi dalam seminggu terakhir.

Di Andhra Pradesh, 246 orang meninggal akibat suhu tinggi dalam sepekan terakhir. Pejabat negara mengatakan 62 orang meninggal karena sengatan matahari pada Minggu 24 Mei 2015.

"Mayoritas korban dari 539 kematian tercatat sebagai pekerja konstruksi, orang tua atau para tunawisma di negara-negara selatan Andhra Pradesh dan Telangana," kata para pejabat yang menyebutkan beberapa kematian juga terjadi di Uttar Pradesh, Odisha dan Bengal Barat.

"Sebagian besar korban adalah orang-orang yang terkena sinar matahari secara langsung," kata komisaris khusus departemen manajemen bencana Andhra Pradesh, P Tulsi Rani.

"Kami meminta mereka untuk mengambil tindakan pencegahan seperti menggunakan payung, memakai topi, mengonsumsi jumlah besar cairan seperti air, susu dan mentega serta mengenakan pakaian katun," tambah P Tulsi Rani.

Kantor berita Press Trust of India (PTI) memberitakan, gelombang panas telah membunuh 186 orang di 10 distrik di negara bagian Telangana. Sebanyak 58 orang meninggal sejak Sabtu 23 Mei.

Negara bagian dengan padang pasir di barat laut Rajasthan juga mencatat beberapa kematian karena panas, seperti dilaporkan PTI, termasuk seorang wanita yang pingsan dan meninggal di pinggir jalan Kota Bundi.

Bahkan, taksi non-AC akan ditiadakan selama lima jam pada siang hari di Kolkata, setelah 2 sopir meninggal karena serangan panas.

Dokter Dilarang Cuti

Gelombang panas yang terus melanda India membuat korban tewas semakin bertambah. Hingga saat ini, tercatat 1.100 meninggal dunia akibat cuaca ekstrim tersebut.

Untuk membantu para korban, pejabat setempat mengeluarkan peraturan baru yakni melarang dokter mengambil cuti agar bisa terus menangani korban yang terkena sengatan panas matahari dan mengalami dehidrasi.

Mengantisipasi banyaknya korban, pemerintah sebenarnya telah mengimbau warga agar tetap tinggal di dalam rumah selama gelombang panas melanda wilayah mereka. Namun, banyak warga tak mematuhi aturan ini dengan alasan, diam di rumah membuat mereka tidak bisa mencari nafkah.

Gelombang panas melanda sebagian besar wilayah India termasuk daerah-daerah seperti Uttar Pradesh, Jharkhand, Orissa, Rajasthan dan ibu kota Delhi. Pekan lalu, suhu udara mendekati 50 derajat Celcius.

Di dua negara bagian yang pernah dilanda suhu panas tertinggi yakni Andhra Pradesh dan Telangana, suhu udara sedikit menurun menjadi 45 derajat Celcius.

Petugas Badan Meteorologi setempat mengatakan, awan mulai terbentuk di dua negara bagian tersebut yang akan memicu terjadinya hujan deras karena musim angin kencang dalam beberapa hari ke depan.

Tidak Hanya India

Panas yang membara bukanlah bencana yang hanya dirasakan oleh warga di India. Korban akibat gelombang panas juga pernah berjatuhan di negara lain. Tak cuma memakan korban jiwa, gelombang panas juga  bisa memicu kebakaran dalam skala besar.

Pada Januari 2014, gelombang panas dilaporkan menelan nyawa seorang warga Australia. Di Melbourne, selama 4 hari berturut-turut bahkan berada pada suhu lebih dari 40 derajat Celcius --cuaca yang tak pernah terjadi sejak 1908.

Sedangkan di Adelaide, suhu 40 derajat Celcius itu terjadi selama 5 hari. Pada Kamis 16 Januari 2014, bahkan suhunya telah mencapai 46,1 derajat Celcius.

Suhu panas yang juga menyebabkan ratusan kebakaran di Australia pun dijuluki dengan The Black Saturday, dengan suhu mencapai 43,9 derajat Celcius pada Kamis 16 Januari.

Dilansir dari Xinhua, kebakaran hutan yang mematikan melanda negara bagian selatan Victoria, menyebabkan 173 orang tewas dan 500 luka-luka. Victoria pun diberitahu akan melewati hari terburuk sepanjang masa.

Peramal cuaca memperingatkan gelombang panas memecahkan rekor dengan suhu melonjak ke 46,4 derajat Celcius, yang dikombinasikan dengan angin kencang hingga 90 km/jam.

Di Victoria ada 72 kebakaran hutan dengan 43 kebakaran besar tak terkendali. Di Australia Selatan, ratusan petugas pemadam kebakaran berjuang di sekitar 16 lokasi kebakaran. Di New South Wales, ada hampir 50 kebakaran, 12 di antaranya sangat sulit dipadamkan.

Puluhan orang juga dilaporkan meregang nyawa, saat mendatangi festival keagamaan di kuil di Pakistan selatan. Diduga penyebabnya adalah gelombang panas yang parah.

Dikutip dari Channel News Asia, Jumat 20 Juni 2014, ratusan ribu orang diperkirakan menghadiri peringatan kematian Lal Shahbaz Qalandar, tokoh muslim sufi terkemuka pada abad ke-13 di kuil di Simpang, 250 kilometer utara Karachi.

Orang-orang terus berdatangan selama 5 hari terakhir, meskipun suhu melonjak hingga sekitar 47 derajat Celsius.

Dokter petugas kesehatan distrik itu, Khalid Arain mengatakan 51 orang telah meninggal sejak hari Minggu 15 Juni. "Termasuk empat wanita," kata dia.

"Dari total kematian 45 orang, karena gelombang panas dan sesak napas. Tiga meninggal karena serangan jantung, satu tenggelam dan dua meninggal dalam kecelakaan di jalan," beber Arain.

"Hampir 650 kasus tersengat matahari dibawa ke rumah sakit setempat pada periode yang sama," kata Arain.

Menurut Edhi Welfare Trust, badan amal yang menjalankan salah satu armada ambulans terbesar Pakistan, korban tewas mencapai 35 orang.

Bernapas pun Sulit

Akhir Juni 2013, Wilayah barat Amerika Serikat juga sempat bagai "terpanggang" akibat terjangan gelombang panas. Peningkatan suhu udara yang diakibatkan, melampaui rekor yang pernah tercatat sebelumnya.

Di Phoenix, Arizona, panas mencapai 47 derajat Celcius. Sementara di gurun Death Valley, California, termometer mencatat temperatur 51 derajat Celcius. Suhu udara yang tercatat sekitar 10 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata.  Untuk menghadapinya, sejumlah kota di wilayah mendirikan pusat-pusat pendinginan bagi warganya.

Para petugas mengkhawatirkan, panas bisa menunda penerbangan. Sebab, meski kebanyakan pesawat besar bisa dioperasikan pada temperatur hingga 52 derajat Celcius, namun faktanya, suhu 47 derajat Celcius saja bisa berdampak pada kondisi lepas landas.

Juru bicara maskapai US Airways mengatakan, pihaknya memonitor suhu udara di Phoenix dengan "ketat".

Suhu yang kelewat panas juga mempengaruhi kualitas hidup warga. Michael Fedo dari Scottsdale, Arizona mengatakan, keluarganya menghabiskan waktu di luar rumah lebih sedikit dari biasanya. Untuk berbelanja di toko, mereka harus melakukannya pada tengah malam.

"Aku memasang peredam cahaya di setiap jendela di rumahku," kata dia.

Meski terbiasa dengan udara panas di Phoenix, Michael mengakui panas kali ini sudah kelewatan. "Jika suhu lebih dari 45 derajat Celcius, kami akan kesulitan bernapas. Panas akan menghisap energi hingga ke pusat tubuh," kata dia, seperti dimuat BBC, Sabtu 29 Juni 2013.

Badan Layanan Cuaca Nasional AS telah mengumumkan potensi panas di sejumlah wilayah yang bahkan mendekati rekor dunia. Diperkirakan, temperatur di Death Valley akan mencapai 53 derajat Celcius selama akhir pekan.

Sementara, rekor tertinggi yang pernah tercatat di muka Bumi adalah 57 derajat Celcius, juga tercatat di gurun itu, hampir 100 tahun lalu, yakni 10 Juli 1913.

Namun, gelombang panas yang menyerang AS kali ini termasuk  bersahabat jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada Juli 2012, sekitar 42 orang tewas akibat gelombang panas yang melanda negara bagian tengah hingga pantai timur AS. Sejumlah media mengatakan beberapa korban meninggal adalah lansia yang terperangkap di rumahnya tanpa pendingin ruangan karena pemadaman listrik.

10 korban tewas terdapat di Chicago dan jumlah yang sama juga menimpa warga di Virginia dan Maryland. Masing-masing 3 orang meninggal di Wisconsin, Ohio, dan Pennsylvania, dan 2 orang di Tennessee. Bayi perempuan berusia 4 bulan meninggal di dalam mobil setelah ditinggalkan "dalam jangka waktu yang panjang" di Greenfield, Indiana.

Indonesia Tidak Terancam

Pejabat meteorologi mengatakan, cuaca ekstrem terjadi akibat tekanan tinggi di atmosfer yang terjebak di area tertentu. Udara juga makin kering, tidak banyak terbentuk awan yang bisa menghalangi matahari.

Namun, belum ada kesepakatan dari para ilmuwan, apakah pemanasan global punya andil menyebabkan cuaca bak "neraka" itu. Yang jelas, hal serupa kecil kemungkinan terjadi di Indonesia.

"Gelombang panas yang terjadi di India kemungkinan kecil bisa terjadi di Indonesia. Ini dikarenakan tidak adanya indikator dinamika atmosfer yang bisa memicu terjadinya aliran udara panas tersebut di Indonesia," kata Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) A Fachri Radjab dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (28/5/2015).

Dia menjelaskan, gelombang pada dasarnya adalah pola musim panas yang meluas (extended summer). Diiindikasikan dengan suhu udara sekitar 5 derajat Celcius di atas rata-rata suhu maksimumnya.

"Ketika aliran udara panas ini melewati permukaan daratan yang luas, maka terjadi interaksi yang pada akhirnya memperkuat aliran udara panas, ini seperti yang terjadi di India," jelas Fachri.

Dari analisa BMKG, tambah dia, gelombang udara panas ini diperkirakan masih akan bertahan dalam 5 hari ke depan di sekitar wilayah utara dan timur laut India.

"Bagi warga Indonesia yang sedang berada di sana agar mewaspadai fenomena ini," imbau Fachri.

Imbauan itu tak hanya diberikan kepada WNI di India, BMKG juga meminta masyarakat di Indonesia tetap waspada gelombang panas. Meskipun Indonesia tidak dilalui aliran cuaca ekstrem tersebut.

"Kewaspadaan tetap harus ditingkatkan karena saat ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Maka fenomena bencana terkait cuaca seperti kebakaran, kekeringan, dan gagal panen agar dapat diantisipasi oleh pemerintah dan masyarakat," demikian Fachri.

Kita patut bersyukur, meski bukan bencana yang menjadi perhatian publik seperti banjir, gempa atau kekeringan, gelombang panas tidak dikenal di negeri ini. Jika gelombang panas menyempatkan diri 'mampir', sungguh tak terbayang apa yang akan terjadi.

Lihat saja pada 2007, tahun pemecahan rekor baru untuk suhu yang dicapai oleh gelombang panas yang biasa melanda Amerika Serikat. Daerah St. George, Utah memegang rekor tertinggi dengan suhu tertinggi mencapai 48 derajat Celcius (Sebagai perbandingan, Kota Surabaya yang terkenal panas ‘hanya’ berkisar di antara 30-37 derajat Celcius).

Suhu di St. George disusul oleh Las Vegas dan Nevada yang mencapai 47 derajat Celcius, serta beberapa kota lain di Amerika Serikat yang rata-rata suhunya di atas 40 derajat Celcius. Daerah Death Valley di California malah sempat mencatat suhu 53 derajat Celcius.

Serangan gelombang panas itu bahkan memaksa pemerintah di beberapa negara bagian untuk mendeklarasikan status darurat siaga 1. Serangan tahun itu memakan korban jiwa, mematikan ikan air tawar, merusak hasil pertanian, memicu kebakaran hutan yang hebat, serta membunuh hewan-hewan ternak.

Pada 2003, daerah Eropa Selatan juga pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Prancis (14.802 jiwa).

Prancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena gelombang panas sebesar itu. Korban jiwa lainnya tersebar mulai dari Inggris, Italia, Portugal, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya. Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan panen merata di daerah Eropa. (Ado)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini