Sukses

Guruku Seorang Pemulung

Sarto, guru SD Cokroaminoto di Solo nyambi menjadi pemulung kertas bekas. Sebab honor Sarto yang sudah 13 tahun mengabdi sebesar Rp 250 ribu tiap bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Liputan6.com, Solo: Sudah jadi rahasia umum bahwa kehidupan para guru banyak yang jauh dari sejahtera. Apalagi banyak guru yang bertahun mengabdi tetap jadi guru honorer. Akibatnya, jangankan berharap materi, pengabdiannya saja seringkali diabaikan. Tidak heran kalau banyak yang akhirnya mencari penghasilan tambahan.

Di Solo, Jawa Tengah, misalnya. Sarto, guru Sekolah Dasar Cokroaminoto, Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon nyambi menjadi pemulung. Pekerjaan ini dijalankan guru berusia 41 tahun ini setelah waktu mengajar usai.

Sarto sudah 13 tahun menjalani profesi sebagai guru. Sepanjang pengabdian Sarto, tentu banyak anak didiknya yang sukses. Nyatanya itu tak berarti apa-apa bagi hidup Sarto. Dia tetap berstatus guru tidak tetap (GTT).

Cita-cita sebagai pegawai negeri sipil masih menggantung tinggi dan belum bisa diraih. Honor Sarto masih sangat terbatas hanya Rp 250 ribu per bulan. Untunglah kepala sekolah memberikan keleluasaan mencari tambahan.

Sebagai pemulung tentu menghapus semua kesan tentang seorang guru. Apalagi melihat Sarto saat mengais tempat-tempat sampah di toko-toko fotokopi yang berjajar di Kota Budaya ini. Kertas bekas menjadi sasaran pencariannya.

Tidak setiap saat kertas bekas ada. Kadang meski sudah berkeliling, tak ada juga sampah kertas bekas. Jika rejeki bagus, keuntungan yang didapat mencapai Rp 200 ribu per dua pekan hasil dari sekitar satu ton sampah bekas hasil sortiran yang dikumpulkannya. Hasil ini membantu menyambung kehidupan Sarto bersama istri.

Semangat membara juga ditunjukkan Nur Faizah, guru yang kehilangan sekolah yang rusak karena lumpur PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur. Tidak hanya itu, rumah Nur Faizah juga hilang terendam lumpur.

Nur Faizah mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Khalid bin Walid, Desa Renokenongo, Porong. Kini, hanya tiga dari sepuluh kelas yang ada bisa dipakai untuk proses belajar-mengajar. Sisanya rusak atau terendam lumpur.

Lebih miris lagi, Nur Faizah berstatus guru tidak tetap. Setelah lumpur merendam rumahnya, dia bahkan sempat hidup di pengungsian. Dia bersyukur kini bisa mengontrak rumah di daerah Beringin, Porong setelah mendapat biaya kontrak dari Lapindo.

Gaji yang pas-pasan hanya cukup untuk membeli susu anak dan bensin sepeda motornya. Untunglah kondisi serba terbatas di rumah serta di sekolah nyatanya tidak memadamkan semangat Nur Faizah. Tekad di dadanya tetap membara untuk mencerdaskan anak-anak bangsa terutama yang kini ada dalam asuhannya.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.