Sukses

Jadi Idaman Para Pendidik, Guru Batik Hadir dengan Modal Nekat

Sepak terjang seorang guru batik .di Universitas Negeri Yogyakarta

Liputan6.com, Jakarta Memiliki sebuah usaha sendiri hingga mendapatkan sebuah toko yang berada di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), mungkin tidak pernah tersirat di pikiran Dheni Nugroho saat mahasiswa. Kini, pemuda yang sedang meneruskan sekolahnya di jenjang Master Pendidikan Matematika ini, telah berhasil memberikan rasa baru dalam dunia batik di Indonesia. Bahkan karyanya dianugerahi penghargaan sebagai salah satu pemenang Youth Creative Competition yang digelar UNESCO Jakarta dan Citi Foundation tahun 2018. Lalu bagaimana sepak terjangnya hingga ia meraih kesuksesan dalam dunia batik hingga saat ini?

“Dari SMA, banyak teman wirausaha dan terlihat keren karena mereka saling berbagi pengetahuan usaha yang tidak terbatas. Tapi pas SMA masih belum berani mencoba karena banyak teman-teman yang kenal. Akhirnya saat kuliah baru berani coba,” ungkap Dheni saat diwawancara di Showroom Guru Batik, Plaza UNY, Yogyakarta, Kamis (1/3/2018).

Kesempatan berwirausaha akhirnya ia lakoni sambil menempuh kuliah di UNY dengan berbagai macam cara. Dimulai dari membuat stiker dan menjualnya keliling kampus, membuat kaos yang didesain sendiri, hingga keripik untuk para mahasiswa yang sedang membutuhkan camilan. Namun semua usaha ini tidak mampu bertahan lama, karena hanya mengikuti tren yang ada.

Ketertarikan terhadap budaya ternyata menjadi pintu tak terduga bagi Dheni untuk memulai usahanya. Berawal dari ketertarikannya pada batik dengan modal mencari informasi pada internet, ia mulai menggali tentang batik dan kekayaannya. Sebuah peluang muncul ketika ia diajak oleh sahabatnya Miftahudin Nur Ihsan yang memiliki ide untuk mengembangkan batik secara lebih modern.

“Awalnya Guru Batik itu hasil dari Program Kreatifitas Mahasiswa yang diajak oleh temanku dan aku yang desain coraknya. Meskipun tidak menjadi juara pertama, poster dari PKM ini menang dapat Juara 2 PKM tingkat nasional di Kendari tahun 2015,” ujar Dheni.

Inovasi yang ia buat juga tidak main-main, Dheni membuat desain batik dengan menggunakan ikon daerah dari Yogyakarta, Kalimantan Barat dan DKI Jakarta. Bahkan sebelum membuat motif ini, Dheni bersama kawan-kawan melakukan observasi dan penelitian kepada para pengrajin batik, melalui literatur, hingga dinas terkait mengenai boleh tidaknya modifikasi pada motif batik. Karena setiap corak batik memiliki pakem atau aturan yang baku, sehingga tidak boleh diubah sembarangan.

“Ada yang bilang tidak boleh, namun ada juga yang bilang boleh. Namun setelah konsultasi ke berbagai pihak, akhirnya batik ini berani kami kembangkan,” ungkap Dheni.

Tentunya sebuah usaha memiliki banyak suka duka, termasuk pada inovasi batik yang mulai kebanjiran pembeli. Perlahan-lahan para anggota tim mulai menemukan jalannya sendiri, ada yang meneruskan kuliah, bekerja, hingga membuka usaha batiknya sendiri. Pada titik ini, akhirnya Dheni harus berjuang mempertahankan apa yang sudah dibangun bersama sahabatnya. Masukan dari orang-orang baru yang mendukung usaha batik ini juga memberikan sebuah titik terang pada usahanya.

“Saya akhirnya dipertemukan dengan orang-orang baru melalui UNESCO Business Development Training pada tahun 2017. Saya juga ikut serta sebagai partisipan pas perayaan Hari Batik di Klaten oleh UNESCO tahun lalu, jadi makin banyak ilmunya. Apalagi setelah ikut pelatihan yang diadakan UNESCO mengenai pengembangan bisnis, pelatihan keuangan, serta branding yang memasukkan nilai dalam produk hingga ada ceritanya” ujar Dheni.

Visi dan misi usaha mulai disesuaikan dengan target pasar yang unik, Guru Batik mulai menemukan jati diri serta nilai-nilai yang sesuai dalam perkembangan usahanya. Dengan misi yang baru yaitu menjadi batiknya guru Indonesia, usaha ini bergerak untuk menyediakan batik bagi seluruh guru-guru yang ada di Indonesia. Kain batik yang dijajakan juga terhitung cukup terjangkau, dengan harga Rp 120 ribu diharapkan para guru tertarik membelinya sebagai oleh-oleh ke kota asal.   

Dheni juga tidak ingin meninggalkan patron yang sudah dibangun dari usaha sebelumnya, yaitu menggunakan kain batik asli dengan proses penggunaan malam. Sehingga untuk prosesnya ia perlu membuat cap khusus untuk setiap motif, serta berkerjasama dengan para pengrajin untuk menjamin kualitas batik. Karena ia percaya, setiap batik adalah karya seni yang harus dijaga dan dipelihara hingga generasi berikutnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Nekat Selesaikan 170 Baju dalam 4 Hari

Melalui promosi yang masih terbatas ternyata pelanggan mulai berdatangan, bahkan Dheni tidak menyangka bahwa orang-orang dari Jambi dan Batam mengetahui usaha batiknya ini. Hingga suatu ketika, kejadian unik terjadi pada tahun 2017, di mana ia dengan modal nekat memberanikan diri menyelesaikan 170 baju hanya dalam 4 hari saja.

“Dulu modal nekat ngga ada kemampuan dan belum ada penjahit, akhirnya ada tawaran buat baju seragam untuk pelatihan tahun 2017. Akhirnya pesanan 170 baju dalam 4 hari itu diiyain, sambil mencari para penjahit yang mau menjahitan baju pesanan ini,” ungkap Dheni sambil tertawa.

Keberhasilannya mengerjakan proyek ini, membuat Dheni memiliki relasi yang baik dengan para pembatik dan penjahit. Hingga saat ini, Guru Batik didukung oleh enam orang pembatik, satu orang pembuat cap, dan tiga orang penjahit yang siap menyelesaikan pesanan. Omsetnya juga tidak main-main, bermodal Rp 7,5 juta pada tahun 2015, kini ia mampu meraup keuntungan Rp 15 juta hingga Rp 30 juta rupiah bila ada pesanan banyak dari guru-guru yang mengadakan kegiatan.

 

3 dari 3 halaman

Harapan Guru Batik

Kreativitas dalam membatik juga terus dikembangkan dengan membuat pola-pola batik yang sesuai dengan sekolah serta mata pelajarannya. Mulai dari ilmu olahraga yang ditandai dengan corak tenis, hingga sekolah SMK yang menggunakan corak electronic circuit yang sangat lekat dengan pelajaran elektronik. Sehingga diharapkan Guru Batik bisa dikenakan oleh para guru, siswa, dosen dan para mahasiswanya.

“Kenapa guru mesti menggunakan batik? Karena siswa itu meniru gurunya, jadi ketika pendidikan membawa misi budaya, sang guru harus menggunakan batik yang asli supaya siswanya bisa mengikuti dan mendapatkan nilai budaya yang sebenarnya,” ujar Dheni.

Setelah dinobatkan menjadi salah satu pemenang dalam Youth Creative Competition yang diselenggarakan oleh UNESCO dan Citi Foundation, Dheni berharap usaha yang sudah digarapnya sejak tahun 2015 ini makin mantap dalam sisi promosi dan manajemen usahanya. Selain itu, keinginan untuk melestarikan kain batik asli di Indonesia juga misi utama yang dipegang oleh Guru Batik. Sehingga kain batik tulis dan cap tetap unggul bersaing dibandingkan kain batik print yang marak dipasaran.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.