Sukses

Cerita di balik Punahnya Jajanan Khas Yogyakarta (Bagian 2-Tamat)

Jajanan khas daerah lokal kini mulai sulit ditemui. Selain pembuatnya semakin sedikit, pangsa pasarnya pun semakin terbatas.

Liputan6.com, Yogyakarta- Jajanan khas daerah lokal kini mulai sulit ditemui. Selain pembuatnya semakin sedikit, pangsa pasarnya pun semakin terbatas. Padahal, peminat jajanan lokal ini masih ada. Serbuan jajanan asing serta kontemporer membuat pasar makanan lokal semakin terdesak. Liputan6.com menelusuri pembuatan jajanan tradisional khas Yogyakarta yang sudah mulai langka ini dan mencari tahu cara pembuatannya hingga latar belakang mengapa jajanan ini semakin menghilang dari peredaran kekayaan kuliner nusantara.

Pembuat makanan tradisional Kotagede Yogyakarta Mulyadi mengatakan tak hanya makanan Kembang Waru yang sarat makna. Makanan lain juga sarat makna seperti Kipo, Yangko dan Legomoro. Legomoro menurut Mulyadi makanan ini hampir punah jika tidak dilestarikan.  Makanan yang mirip dengan lemper ini mempunyai rasa yang berbeda dengan lemper.

"Legomoro itu dari ketan seperti lemper tapi diikat tali bambu. Seperti lemper ada dagingnya. Lebih tahan dari lemper sekarang buat besok sore masih bisa dimakan. Makanan yang disukai dan cepet habis. Jarang dihidangkan kalo ada pesta aja," ujar Mulyadi.

Legomoro ini biasanya digunakan bawaan saat proses pernikahan berlangsung. Makanan ini dibawa oleh pihak laki-laki untuk pihak wanita. Ini pun masih digunakan sebagai tradisi Kotagede saat proses pernikahan. "Pernikahan dan pihak laki-laki harus bawa legomoro dan kembang waru. Lego moro asal kata dari hatine lego le moro yo lego (Yang datang dengan keridhoan yang didatangi juga keridhoan)," ujarnya.

Tak hanya sarat makna makanan khas Kotagede juga bisa menjadi penanda. Mulyadi mengatakan jika berkunjung ke rumah teman ataupun kerabat makanan ini yang dibawa sebagai buah tangan.

"Kiyangko itu singkatan dari Iki tiyang kotagede (ini orang Kotagede). Saya kalo keluar kota bawa oleh-oleh kiyangko kalo g ketemu orangnya pasti tahu habis ada tamu dari kotagede. Jadi Kiyangko ini dari Ketan dikukus, sudah masak dijemur, kalo audah kering disangrai lalu ditumbuk itu dulu, kalo sekarang digiling pakai mesin," ujarnya.

Mulyadi mengatakan jika kebanyakan makanan khas Kotagede menggunakan bahan Ketan. Makna dari filosofinya jika Ketan yang cenderung Kelet atau lengket harapanya bisa mempereratk persaudaraan. Sementara itu budayawan Kotagede M Natsir mengatakan sejarah kota gede itu mempunyai sejarah yang panjang. Menurutnya di Kotagede ada lima potensi yaitu sejarah, situs, arsitektur bangunannya, sosial budaya dan kelima keahlian kerajinan dan makanan. Khusus makanan di Kotagede terkenal dengan makanan tradisional Kipo.

 "Kenapa di kotagede kondang dengan makanan yang namanya Kipo dan hanya ada di Kotagede kan gitu. cerita sebenarnya kenapa dinamakan kipo dari pak damardjati supajar jelaskan kipo itu iki opo. Pada saat itu sultan agung pagi pagi lagi duduk dicepaki wedang teh dan makanan  aneh dan tidak biasa lalu bilang Iki Opo ( ini apa) disingkat kipo. Tapi kita belum menemukan asal kosa kata dari Kipo," ujar Natsir.

Natsir pun menyebut saat ini produsen Kipo hanya tinggal sedikit dan bahkan bisa dihitung dengan jari. "Sekarang mungkin hanya tiga produsen saja yang buat kipo dan hanya keluarga tertentu saja. tapi bagaimana proses memebuatnya sangat manual dan rumit maka wong wegah (enggan membuat)," ujar Nasir.

M Natsir menjelaskan makanan dari Kotagede ini tidak akan musnah begitu saja. Walaupun pernah dibuatnpelatihan khusus membuat makanan Kipo namun tetap saja tidak banyak yang masih bertahan. Natsir menjelaskan proses pembuatan yang rumit dan lama membuat peserta pelatihan itu tidak melanjutkan.

"orang pernah bikin pelatihan dan sebagainya bisa sih bisa tapi dihitung-hitung lagi ra ekonomis. Itu biasa tapi kipo masih ada itu ya keluarga pembuat Kipo dan itu rasa. Yang mengikat dia untuk mau itu rasa dan lain ga ada hubungan (sejarah pembuat kipo) itu nyebahi kui (mengesalkan)  tek iso makane wegah (merasa mampu tapi ga mau bikin). Tapi justru itu yang membuat bertahan dan itu membanggakan," ujar Natsir.

Natsir mengaku proses yang lama dan rumit lah membuat orang malas membuat makanan khas Kotagede. "Tepung beras dicampur ini dalamnya ada parutan kelapa gula. Lalu diangsai digoreng pakai layah dan itu diwolak walik satu persatu hargane murah," ujarnya.

Liputan6.com menemui  salah satu pembuat Kipo Amanah yang ada di Jalan Mondarakan no 25 Kotagede, Yogyakarta. Amanah mengaku tidak mengetahui asal usulnya kenapa makanan yang dijualnya bernama Kipo. Nwmun ia mengatakan jika pembuat pertama kali makanan Kipo dari kalangan keluarganya. "Yang namain simbah gitu bu Djito namanya. Saya dan adik saya itu sudah generasi kedua," ujarnya.

 Amanah mengatakan tidak butuh waktu lama dalam membuat kipo. Hanya butuh waktu 10 menit saja membuat Kipo. Memang dibutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam membuat Kipo. Pasalnya jika komposisi bahan tidak sesuai maka akan mempengaruhi rasa. Hingga saat ini di Kotagede hanya tinggal 3 orang pembuat Kipo dari Kotagede. "Hanya tinggal 3 orang saja yang asli dsri Kotagede. Masih saudara semua," ujarnya.

Kipo ini menjadi makanan yang paling dicari saat musim lebaran tiba dan tahun baru. Selebihnya Kipo juga dicari saat ada perayaan pengantin atau ulang tahun. Permintaannya pun bisa mencapai ribuan Kipo saat lebaran datang. "Manten rapat ulang tahun lalu Lebaran dan tahun baru. Lebaran saya sampai kewalahan," ujarnya.

Namun kadang makanan ini menjadi buah tangan bagi para pengunjung wisata di Kotagede. Amanah menyebut jika Kipo yang dibuatnya bisa tahan sampai 3 hari. Kipo yang dijualnya cukup murah yaitu hanya 1.500 rupiah. "Tiga hari saja. Tergantung isinya kalo kering lama tapi kalo lembek ya cepat basi," ujarnya.

Sementara itu penjual Jajanan di Pasar Kranggan Jogjakarta Ibu Harti yang sudah 22 tahun jualan jajanan di pasar yang berdekatan dengan Tugu Jogja ini menagku jika makanan tradisional khas Jogja mulai jarang ditemui. Wanita asal Muntilan ini sudah berjualan di pasar sejak pukul 02.00 wib ini mengaku telah mengalami pasang surut dalam berjualan makanan tradisional. Beberapa makanan yang sudah turun dari peredaran saat ini seperti Semar mendem dan Jadah manten. Dua item ini sulit ditemui dipasaran. Kembang waru dan Kipo juga menjadi makanan khas Jogja yang jarang ditemui di pasar. "Dulu ada sekarang audah mulai langka yang masok ga ada. Tapi kalo disuruh nyari masih bisa karena ada yang masih tapi ga setor rutin ke pasar," ujqrnya.

Harti mengatakan jika saat ini wajik dan jadah juga mulai langka di pasaran. Walaupun makanan ini sering terlihat di acara pernikahan namun di pasar tradisional mulai jarang ditemui.

"Kalo ada tapi mahal. Tergantung besar kecilnya. Kadang ada Wajik dan Jadah sudah langka. Nyari ya susah gampang sekarang," ujarnya.

Harti mengatakan makanan tradisional yang mulai jarang ditemui di Jogja juga mulai banyak seperti Petulo. Makanan yang terbuat dari tepung beras ketan ini hanya tersedia sedikit. Petulo makanan sejenis dengan Putu Mayang ini juga mulai jarang ditemui karena sedikitnya pemasok ke pasar. Seperti Kue Lumpur dan kue putu ayu juga semakin sesikit swkali pamasok sehingga jajanan ini menjadi paling laris dan paling cepat terjual. Sehingga jika pengunjung datang ke pasar terlalu siang maka akan pasti hilang kesempatan menikmati makanan khas ini. Tak hanya itu kadang makanan yang audah jarang ditwmui karena semakin sedikit peminatnya.

"Kayak kue Pipis Peminat masih sedikit, kadang kendala di daun yang bungkus kue itu dan segala macemnya," ujarnya

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.