Sukses

Tabrakan dengan Kecepatan Rendah Picu Gegar Otak?

Semakin tinggi kecepatan pada saat tabrakan, risiko gegar otak atau cedera otak meningkat. Namun, ada aspek lain yang perlu diperhatikan.

Liputan6.com, Jakarta Gegar otak atau dalam bahasa medis disebut cedera otak bisa terjadi akibat tabrakan dengan kecepatan rendah atau tinggi. Artinya, penumpang yang tengah berada dalam mobil yang melaju dengan kecepatan rendah, bisa saja mengalami gegar otak bila bagian kepalanya membentur sesuatu. 

"Memang, semakin kecepatan tinggi, risiko terjadi benturan semakin besar, (yang berarti) semakin risiko cedera otak berat semakin besar. Namun, ada juga pengaruh lain, misalnya terbentur dengan apa atau posisi saat dalam kendaraan mengenakan seatbelt atau enggak," kata pakar neurologi dari Atmajaya Neuroscience and Cognitive Center, Yuda Turana.

Bila seseorang yang mengalami kecelakaan duduk di bagian tengah mobil, sesungguhnya risiko terbentur benda keras lebih kecil. Seperti diketahui, bila duduk di bagian tengah, ada banyak benda empuk dibanding duduk di bagian depan yang bisa terbentur dengan dashboard. Bisa saja ada benturan benda tumpul atau tajam yang kemudian membuat luka hingga gegar otak.

 

Saksikan juga video menarik berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mengecek luka

Bila ada luka, dokter akan mengecek kondisi luka hingga seberapa dalam perobekan. "Jika memang ada perlukaan, seorang dokter saraf biasanya akan mengejar (untuk mengetahui) ada cedera otak di dalam atau enggak. Untuk menyatakan cedera otak itu melihat dari fungsi dan strukturnya terlebih dahulu," tambah Yuda dalam sambungan telepon.

Untuk bisa mengetahui kondisi struktur, bisa dilihat dengan melakukan scanning, yakni MRI atau CT Scan. "Tantangannya adalah bila hasil scanning memperlihatkan struktur otak normal, apakah selalu fungsinya normal? Kan belum tentu," tambahnya lagi.

Jika kondisi begini, untuk melihat kondisi fungsi otak, dokter akan melihatnya secara klinis. Yakni dari tingkat kesadaran, fungsi kognitif terganggu atau tidak (melihat dari konsentrasi atau menjadi gampang lupa). Namun, pada pemeriksaaan fungsi kognitif ini kadangkala bisa subjektif.

"Pada kasus seperti ini, perlu assessment dokter ahli saraf untuk menilai pemeriksaan klinis yakni fungsi luhur otak, yang disesuaikan dengan pemeriksaan penunjang. Bukan semata-mata berdasarkan keluhan pasien," katanya lagi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini