Sukses

Stres Jangka Panjang Bisa Picu Obesitas

Orang yang mengalami stres jangka panjang bisa membuatnya jadi obesitas

Liputan6.com, Inggris Para peneliti di Inggris membandingkan tingkat stres dan berat badan lebih dari 2.500 pria dan wanita di atas umur 54 tahun yang berpartisipasi dalam English Longitudinal Study of Ageing. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Obesity melihat tingkat hormon stres, yang disebut kortisol di rambutnya yang dikumpulkan dari peserta.

"Kami menemukan kadar kortisol di rambut akan positif dan signifikan berkorelasi dengan lingkar pinggang menjadi lebih besar dan indeks massa tubuh lebih tinggi," kata Sarah Jackson, peneliti di Epidemiology and Health di University College London, Inggris.

Hasil tersebut membuktikan, stres kronis dikaitkan dengan risiko lebih tinggi obesitas. Kortisol adalah hormon yang diproduksi delenjar adrenal yang dilepaskan ke dalam aliran darah pada saat stres.

Selain menekan peradangan dan mengatur tekanan darah, kortisol membantu menjaga pasokan yang menstabilkan gula darah dan memberikan dorongan energi untuk menangani keadaan darurat pada tubuh.

"Kortisol mengalirkan glukosa ke otak, menjaga hal-hal yang terjadi selama stres serta berperan besar dalam metabolisme, komposisi tubuh, dan akumulasi lemak tubuh," tambah Sarah, sebagaimana dikutip dari CNN, Kamis (23/2/2017).

Pelepasan kortisol dipicu oleh reseptor yang padat terletak di jaringan lemak visceral--jenis lemak yang mengelilingi organ-organ tubuh--yang dapat menjelaskan hubungan berat badan dan penurunan berat badan.

Kortisol biasanya diuji melalui darah, urine, atau air liur. Kadar kortisol berfluktuasi sepanjang hari tergantung pada waktu hari, apa yang Anda makan, situasi stres yang mendadak, dan penyakit. Itu sebabnya uji klinis pada darah, urine, dan air liur dapat menunjukkan ukuran yang tidak baik terhadap stres jangka panjang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Stres dan obesitas

Stres dan obesitas

Penelitian menunjukkan, tingkat kortisol juga dapat dideteksi dalam folikel rambut. Hasil penelitian menunjukkan, paparan kortisol tingkat tinggi kronis mungkin berperan terhadap obesitas.

Namun, para peneliti tidak bisa membangun sebab dan akibat yang benar.

"Obesitas pada orang yang dipelajari kemungkinan sudah berkembang bertahun-tahun sebelumnya. Artinya, nilai-nilai kortisol rambut yang tinggi ini mungkin hanya mencerminkan stres sosial atau biologis yang berhubungan dengan obesitas. Misalnya, stigma sosial bahwa orang dengan obesitas sering menderita sehingga dapat menyebabkan stres dan tingkat kortisol tinggi," kata Susan Freid, profesor an direktur translasi adiposa biologi dan obesitas di Diabetes Metabolism Obesity Institute.

3 dari 3 halaman

Meredakan ketegangan

Meredakan ketegangan

Para peneliti akan "terus menimbang dan mengukur peserta penelitian tiap empat tahun untuk menentukan, bagaimana cara stres memengaruhi massa tubuh dari waktu ke waktu.

Sarah juga menyarankan, orang-orang yang mengalami stres kronis dapat mencari cara untuk meredakan ketegangan (selain makan) seperti meditasi atau yoga.

"Ada banyak bukti, kortisol memengaruhi nafsu makan dan pilihan kenikmatan makanan yang berkalori tinggi. Jadi, saya tahu itu sulit (untuk menghindari makan). Tapi itu cara terbaik untuk mengelola stres dan menghindari makanan sebagai penopang untuk menghilangkan stres," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.