Sukses

2 Personel The Beatles ISIS Ditangkap di Suriah

Dua anggota ISIS berkewarganegaraan Inggris, bagian dari kelompok berjuluk The Beatles diduga telah ditangkap di Suriah.

Liputan6.com, Damaskus - Dua anggota ISIS asal Inggris, bagian dari kelompok sel berjulukan The Beatles, telah ditangkap oleh milisi Kurdi yang didukung Amerika Serikat di Suriah.

Alexanda Kotey (34) dan El Shafee Elsheikh (29) merupakan dua dari empat orang anggota ISIS kelompok sel yang diberi julukan The Beatles, mengingat aksen dan status domisili mereka yang berasal dari Inggris serta total individunya -- sama seperti band legendaris itu. Demikian seperti dikutip dari The Guardian (9/2/2018).

Kabar penangkapan itu pertama kali dirilis oleh media Amerika Serikat, The New York Times.

Mengutip dua sumber pejabat AS, NY Times melaporkan bahwa Kotey dan Elsheikh ditangkap oleh milisi Syrian Democratic Forces (didominasi enis Kurdi) yang didukung oleh Amerika Serikat.

Penangkapan itu terjadi saat SDF menggelar operasi di Sungai Eufrat dekat perbatasan Suriah-Irak. Keduanya ditangkap pada awal Januari.

Pejabat AS dilaporkan mengetahui penangkapan itu pada pertengahan Januari.

SDF memberi US Special Forces akses untuk menginterogasi kedua orang tersebut. Oleh USSF, identitas kedua orang itu berhasil terkonfirmasi setelah berhasil dicocokkan pada basis data lewat pemeriksaan sidik jari dan biometrik lainnya.

Usai interogasi, pihak AS dikabarkan berhasil mengorek informasi berharga dari Kotey dan Elsheikh, salah satunya meliputi struktur kepemimpinan ISIS saat ini.

Perekrut

Menurut biro terorisme Kementerian Luar Negeri AS, Kotey diduga beroperasi sebagai penjaga sel The Beatles tersebut dan 'kemungkinan terlibat dalam sejumlah eksekusi dan penyiksaan yang sangat kejam, seperti metode kejut listrik dan waterboarding".

Kemlu AS juga menduga bahwa Kotey bertanggung jawab merekrut beberapa warga Inggris untuk menjadi foreign-terrorist fighter ISIS.

Sedangkan Elsheikh -- yang diketahui telah berada di Suriah sejak 2012 -- disebut oleh biro terorisme Kemlu AS sebagai 'militan yang mendapat reputasi sebagai eksekusi tiruan, penyiksa, pelaksana waterboarding, penyaliban, dan sipir penjara untuk ISIS'.

Hingga laporan itu muncul, baik Kemlu dan Kementerian Pertahanan AS belum menanggapi komentar dari berbagai media.

Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Inggris masih bungkam ketika dimintai komentar, tapi tidak pula menolak kabar tersebut.

Mengomentari kasus penangkapan dua anggota ISIS itu, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan, "Kami tidak mengomentari kasus individual atau investigasi yang sedang berlangsung."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

The Beatles ala ISIS

Kotey merupakan seorang mualaf yang tumbuh di London barat. Sementara Elsheikh merupakan keturunan dari keluarga asal Sudan yang mengungsi ke Inggris pada 1990-an.

Bercermin dari Kotey dan Elsheikh serta sejumlah warga Inggris lainnya, Badan Intelijen Inggris -- baik domestik (MI5) dan luar negeri (MI6) -- serta unit kontra-terorisme Kepolisian London telah banyak terlibat dalam upaya mengumpulkan informasi mengenai warga Inggris yang bergabung dengan ISIS.

Elsheikh dan Kotey merupakan dua anggota terakhir dari The Beatles ISIS.

Pentolan dari keempatnya, Mohammed Emwazi alias Jihadi John, telah tewas dalam sebuah serangan udara pada 2015.

Emwazi diduga kuat bertanggungjawab sebagai dalang di balik aksi kejam pemenggalan yang dilakukan ISIS terhadap dua jurnalis asing James Foley dan Steven Sotloff -- yang kemudian direkam untuk menjadi konten video propaganda Daesh.

Ada pula Aine Davis, yang tahun lalu telah ditangkap dan didakwa dengan pasal terorisme di Turki pada 2017 silam.

3 dari 3 halaman

Akan Ditahan di Guantanamo?

Mengingat belum ada pemerintahan yang mengonfirmasi kabar penangkapan tersebut, maka, nasib Alexanda Kotey (34) dan El Shafee Elsheikh (29) juga belum jelas.

The New York Times, yang mewartakan kabar itu pertama kali, mengindikasikan bahwa kedua orang tersebut belum ditangani secara penuh, baik oleh militer Amerika Serikat atau Kementerian Hukum AS -- di sisi lain, kedua lembaga itu belum memberikan respons resmi terkait kabar tersebut.

Dan, di tengah ketidakjelasan itu, NY Times mengindikasikan bahwa Kotey dan Elsheikh berpotensi ditahan di Guantanamo.

Hal ini diperkuat dengan rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang telah memerintahkan agar Penjara Guantanamo di Kuba tetap dibuka. Trump juga memerintahkan agar fasilitas detensi yang kerap digunakan untuk menahan teroris itu dapat kembali menampung tahanan baru.

Trump mengutarakan hal tersebut kala menyampaikan pidato State of the Union di hadapan Kongres AS di The Capitol, Washington DC, pada 30 Januari malam waktu setempat.

Dalam pidatonya, Trump mengatakan bahwa ia baru saja menandatangani perintah eksekutif kepada Menteri Pertahanan AS James Mattis untuk tetap membuka fasilitas Guantanamo. Pihaknya juga akan meninjau kembali kebijakan fasilitas detensi militer AS. Demikian seperti diktuip dari CNN, Kamis 1 Februari 2018.

Meski begitu, perintah eksekutif itu tak segera berlaku. Butuh waktu sekitar 90 hari bagi Mattis dan jajarannya di Kemhan AS untuk meninjau serta mendalami perintah eksekutif tersebut.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Trump juga mengutarakan mengenai prospek untuk memenjarakan anggota ISIS di Gitmo -- julukan penjara Guantanamo.

"Saya meminta Kongres AS untuk memastikan kembali bahwa dalam pertempuran melawan ISIS dan Al Qaeda, AS harus memiliki semua sumber daya untuk menahan teroris di mana pun kita menangkap mereka," kata Trump.

"Dalam sejumlah kasus, kita akan menahan mereka di Guantanamo," ia menambahkan.

Sementara itu, sebaris kutipan dalam naskah perintah eksekutif yang ditandatangani Trump berbunyi: "AS akan menambah tahanan baru ke US Naval Station Guantanamo Bay (nama resmi Gitmo), hanya jika sesuai hukum dan diperlukan untuk melindungi Bangsa."

"Penahanan juga akan tetap dilakukan secara legal, aman, manusiawi, dan dilakukan sesuai dengan hukum Amerika Serikat dan internasional."

Rencana tersebut tentunya mendapat kecaman dari para politikus Partai Demokrat -- oposisi pemerintah dan menerima dukungan dari Partai Republik.

Sementara itu, organisasi penggiat HAM, Physicians for Human Rights, menyatakan bahwa langkah itu hanya akan kembali menegaskan Guantanamo sebagai simbol penyiksaan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh AS bagi mata dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini