Sukses

Terkait Demo Iran, Mantan Presiden Ahmadinejad Ditahan?

Kabar pertama kali mantan presiden Iran Ahmadinejad dilaporkan Al-Quds Al-Arabi, harian yang berbasis di London.

Liputan6.com, London - Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dikabarkan ditangkap oleh pihak berwenang karena diduga menghasut para pengunjuk rasa yang kini masih menggelar demo anti-pemerintah Iran. Kabar itu dilaporkan harian Al-Quds Al-Arabi yang berbasis di London pada hari Sabtu 6 Januari 2018 dengan mengutip "sumber terpercaya di Teheran".

Surat kabar tersebut mengatakan bahwa Ahmadinejad tengah berkunjung ke kota Bushehr pada tanggal 28 Desember. "Beberapa pemimpin saat ini tinggal terpisah dari masalah dan keprihatinan masyarakat, dan tidak tahu apa-apa tentang realitas masyarakat."

Dikutip dari Times of Israel pada Minggu (7/1/2018), Ahmadinejad diduga menambahkan pernyataan bahwa Iran menderita akibat "salah urus" dan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani "percaya bahwa mereka memiliki tanah itu dan bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang tidak tahu apa-apa."

Menurut Al-Quds Al-Arabi, komentar Ahmadinejad, yang terjadi saat demonstrasi anti-pemerintah mengenai ekonomi, memanas dan menyebabkan penangkapannya.

Surat kabar tersebut mengatakan bahwa pihak berwenang sekarang berusaha menjatuhkan tahanan rumah ke mantan presiden tersebut.

Times of Israel tidak dapat mengonfirmasi laporan tersebut secara independen.

TV pemerintah Iran pada hari Sabtu menunjukkan demonstrasi pro-pemerintah di beberapa kota, dimulai dengan Amol, di provinsi utara Mazandaram, dengan ratusan orang melambai-lambaikan bendera Iran dan meneriakkan slogan-slogan menentang AS dan Israel.

Televisi pemerintah Iran menggambarkan demonstrasi tersebut sebagai "tanggapan terhadap perusuh dan pendukung kerusuhan".

Demonstrasi pro-pemerintah lainnya diadakan di Shahin Dezh, di provinsi Azarbaijan Barat yang berbatasan dengan Turki, kota Semnan di Provinsi Semnan utara, dan Shadegan, di Provinsi Khouzestan selatan dekat Irak.

Demonstrasi tersebut dimaksudkan untuk melawan unjuk rasa anti-pemerintah yang terjadi di Masyhad, kota terbesar kedua di Iran, pada tanggal 28 Desember, dan sejak itu menyebar ke beberapa kota dan kota lainnya.

Protes tersebut dipicu oleh kenaikan harga pangan di tengah melonjaknya pengangguran. Beberapa demonstran menyerukan penggulingan pemerintah.

Sedikitnya 21 orang terbunuh dalam demo anti-pemerintah Iran dan ratusan lainnya telah ditangkap. Para pejabat Teheran telah menyalahkan demonstrasi anti-pemerintah merupakan campur tangan asing.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

AS Berniat Tunggangi Demo Iran?

Belakangan muncul dugaan, Donald Trump sengaja memanfaatkan momentum demonstrasi berdarah di Iran sebagai 'kartu as' untuk menghentikan penilaian sertifikasi kepatuhan Teheran terhadap 'Kesepakatan Nuklir Iran' (JCPOA).

Joint Comprehensive Plan of Action merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan sejumlah pihak yang terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.

Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per 90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan.

Terakhir kali, sertifikasi kepatuhan diberikan oleh Amerika Serikat kepada Iran pada Juli 2017. Sedangkan negara penandatangan lain masih tetap rutin memberikan sertifikasi penilaian terhadap Iran -- salah satunya Prancis.

Dan pada pertengahan Januari 2018 ini, Trump -- sesuai mandat JCPOA -- harus segera memberikan sertifikasi.

Namun diprediksi, dengan memanfaatkan momentum demo berdarah di Iran, Presiden AS itu tak akan memberikan sertifikasi tersebut, atau bahkan membuat Negeri Paman Sam meninggalkan pakta itu.

Pada Oktober 2017 lalu, Trump pernah mengatakan, "Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," ujar Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih.

Sementara itu, Uni Eropa menyerukan agar insiden protes di Iran tak dicampuradukkan dengan kesepakatan nuklir yang telah dihasilkan. Meski demikian, pihak Brussels melayangkan kritik keras pada rezim Teheran.

Hal senada diungkap Presiden Prancis Emmanuel Macron. "Memutuskan kesepakatan nuklir justru akan mengarah pada risiko penguatan kaum ekstremis," kata dia seperti dikutip dari Politico.

Salah satu negara sahabat Iran, Rusia meminta Washington DC untuk tidak ikut campur.

"Kami memperingatkan AS atas upayanya untuk campur tangan dalam urusan internal Republik Islam Iran," kata Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov kepada kantor berita Tass.

Ia menuding AS berusaha memanfaatkan momentum demo untuk mengangkat isu baru terkait kesepakatan nuklir Iran.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini