Sukses

Presiden Putin: Ledakan di Pasar St. Petersburg Adalah Aksi Teror

Presiden Putin juga memerintahkan petugas untuk melumpuhkan bandit, militan dan pelaku kejahatan lainnya di tempat usai ledakan itu.

Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan, ledakan yang menghancurkan pasar Saint Petersburg dan melukai 13 orang adalah tindakan teror. Sementara itu, rekaman yang beredar di dunia maya memperlihatkan sosok pelaku.

Bicara dalam sebuah pertemuan dengan perwira militer di Kremlin, Putin memerintahkan dinas keamanan nasional untuk "bertindak tegas" dan "melumpuhkan para bandit di tempat". Tindakan itu dilakukan juga jika ada militan bersenjata melakukan perlawanan.

Juru bicara Putin, Dmitry Peskov mengatakan kepada wartawan bahwa pemimpin Rusia tersebut merujuk pada semua orang "yang memiliki rencana untuk melakukan tindakan teror di negara kita," demikian seperti dikutip dari Telegraph pada Jumat (29/12/2017).

Pada Rabu malam, sebuah bom ditempatkan di sebuah loker di supermarket yang terletak di area barat laut Saint Petersburg, kota terbesar kedua di Rusia sekaligus kampung halaman Putin. Tak lama kemudian material berbahaya itu meledak. 

"Seperti yang Anda ketahui, sebuah tindakan teror terjadi di Saint Petersburg kemarin," kata Putin pada sebuah upacara untuk memberi penghargaan kepada para perwira yang ikut dalam perang Suriah.

Mereka yang terluka dalam serangan tersebut termasuk seorang wanita hamil berusia 35 tahun.

Anna Mityanina, wakil gubernur Saint Petersburg, Rusia mengatakan di Twitter bahwa enam orang masih dirawat di rumah sakit.

Bom tersebut terjadi setelah dinas keamanan FSB mengatakan awal bulan ini bahwa pihaknya telah mencegah serangan teror ke sebuah katedral Ortodoks di Saint Petersburg dengan bantuan CIA.

Putin pun menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Ledakan di pasar Saint Petersburg tersebut terjadi sekitar pukul 18.45 waktu setempat saat orang-orang bersiap untuk merayakan Tahun Baru -- hari libur penting negara itu -- diikuti oleh Natal Ortodoks Rusia, yang jatuh pada tanggal 7 Januari.

Pejabat mengatakan bom tersebut memiliki kekuatan setara dengan 200 gram TNT.

Rekaman yang diposting online oleh media lokal menunjukkan, seorang pria yang mengenakan jaket berkerudung, masuk ke supermarket dengan membawa ransel. Tak berapa lama kemudian, ia pergi dari lokasi perbelanjaan itu.

Saint Petersburg, Rusia adalah rumah bagi puluhan ribu migran yang kebanyakan berasal dari Asia Tengah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Saint Petersburg Rentan Terorisme?

Juru bicara Putin, Peskov menolak kekhawatiran bahwa Saint Petersburg rentan menghadapi serangan teror.

"Terorisme menghadirkan bahaya ke wilayah berpenduduk padat di dunia," katanya kepada wartawan.

Dia menambahkan bahwa Putin berniat untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden Rusia hingga tahun 2024 dalam pemilihan presiden bulan Maret mendatang. Memerangi terorisme akan menjadi prioritasnya.  "Pertarungan terus berlanjut," tambahnya.

Pada bulan April, sebuah bom bunuh diri menewaskan 15 orang dan melukai puluhan lainnya di metro Saint Petersburg.

Pemboman tersebut diklaim oleh sebuah kelompok yang terkait dengan Al Qaeda. Mereka mengatakan, serangan tersebut dilakukan untuk negara-negara yang terlibat perang dengan umat Islam -- yang diduga kuat merujuk pada kampanye militer Rusia di Suriah.

Awal bulan ini FSB mengatakan telah menahan beberapa anggota ISIS yang telah merencanakan untuk meledakkan Katedral Kazan, salah satu landmark paling terkenal di Saint Petersburg.

Pihak berwenang telah menyita sejumlah besar bahan peledak yang digunakan untuk membuat bom rakitan, juga senapan otomatis, amunisi, dan literatur ekstremis.

Kepala FSB Alexander Bortnikov mengatakan, Rusia tetap siaga untuk kemungkinan kembalinya militan dari Suriah menjelang Piala Dunia dan pemilihan presiden bulan Maret.

Awal bulan ini Bortnikov mengatakan bahwa setidaknya 4.500 orang Rusia telah meninggalkan negara tersebut untuk bergabung dengan "teroris" di Timur Tengah, Afrika Utara dan wilayah lainnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini