Sukses

Oposisi Suriah Tolak Perundingan Damai yang Disponsori Rusia

Pada pengujung Perang Saudara Suriah, kelompok oposisi menolak perundingan damai yang disponsori Rusia.

Liputan6.com, Sana'a - Kelompok oposisi Suriah menolak rencana Rusia yang hendak menggagas dialog perundingan damai guna membahas masa depan negara dengan ibu kota Damaskus itu.

Dialog perundingan damai itu akan mempertemukan pihak pemerintahan Presiden Suriah Bashar Al Assad dengan kelompok oposisi Suria. Adapun Rusia akan berperan sebagai sponsor sekaligus mediator perundingan.

Namun, dalam sebuah pernyataan tertulis, sekitar 40 kelompok oposisi Suriah menolak gagasan tersebut. Pernyataan itu juga mengemukakan sejumlah alasan penolakan.

Pertama, kelompok oposisi menganggap Rusia tengah berusaha untuk melangkahi rencana perundingan damai yang disponsori oleh PBB di Jenewa pada 2018 mendatang.

Upaya pelangkahan itu, menurut dugaan kelompok oposisi, merupakan cara Rusia agar dapat menanamkan pengaruh politik yang lebih luas dan mendalam di Suriah.

"Rusia, lewat konferensi itu, berencana untuk memotong dialog PBB di Jenewa. Mereka (Rusia) juga mencoba menanamkan pengaruh mereka terhadap Suriah," kata Ahmed Ramadan, juru bicara untuk kelompok oposisi Suriah, Syrian National Coalition, seperti dikutip dari Deutsche Welle, Rabu (27/11/2017).

Alasan kedua, kelompok oposisi menuding Rusia telah melakukan kejahatan perang selama melakukan intervensi militer di Suriah. Atas dasar tudingan itu, kelompok oposisi menilai bahwa Rusia tak layak untuk menggagas dialog damai.

Selain itu, Rusia juga dituduh tak melakukan apa-apa untuk mengurangi penderitaan rakyat Suriah semasa dilanda konflik bersenjata selama beberapa tahun terakhir. Negeri Beruang Merah, menurut penilaian kelompok oposisi, justru lebih banyak membawa penderitaan bagi rakyat Suriah.

"Rusia merupakan negara agresor yang telah melakukan kejahatan perang terhadap orang-orang Suriah. Mereka juga tidak menyumbang apa pun untuk mengurangi penderitaan Suriah," papar sebuah pernyataan tertulis dari kelompok oposisi.

Dialog Damai di Sochi Rusia

Rusia, yang selama dua tahun terakhir telah membantu Presiden Suriah Bashar Al Assad untuk menumpas gerakan oposisi dan kelompok pemberontak, berencana untuk menggelar dialog perundingan damai pada akhir Januari 2018.

Moskow berdalih, perundingan yang turut didukung oleh Iran dan Turki -- sekutu Rusia -- itu juga ditujukan untuk menciptakan sebuah momentum negosiasi jelang dialog yang akan disponsori oleh PBB di Jenewa pada awal triwulan tahun 2018 nanti.

Negeri Beruang Merah sendiri berniat agar Al Assad terus berkuasa di Suriah usai Perang Saudara berakhir.

Di lain pihak, Amerika Serikat -- yang mendukung secara politis sejumlah kelompok oposisi -- menilai bahwa rezim Al Assad sudah tak lagi memiliki masa depan bagi potensi berkembangnya demokrasi di Suriah.

Perang Saudara di Suriah dimulai pada 2011. Demonstrasi sporadis anti-Assad yang berawal damai lama-kelamaan berubah menjadi konflik kekerasan dan menuai respons keras dari tentara pemerintah. Sejak saat itu, lebih dari 330.000 orang terbunuh dalam Perang Saudara Suriah. Konflik juga memicu intervensi asing, baik negara maupun aktor nonnegara, termasuk Rusia, Amerika Serikat, Arab Saudi, dan kelompok militan ISIS.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

ISIS Kalah, Sebagian Pasukan Rusia di Suriah Akan Dipulangkan

Presiden Vladimir Putin telah memerintahkan penarikan sebagian pasukan Rusia dari Suriah. Hal ini diumumkannya dalam sebuah kunjungan mendadak ke Sanaa pada Senin waktu setempat.

Seperti dilansir BBC pada Senin (11/12/2017) yang mengutip kantor berita Interfax, Putin yang tiba di pangkalan udara Hmeimim, Provinsi Latakia, yang dioperasikan oleh Rusia disambut langsung oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Sebelumnya, pada Maret 2016, Putin telah mengumumkan bahwa ia berencana untuk menarik pulang sebagian besar pasukan Rusia yang berada di Suriah.

Orang nomor satu di Negeri Beruang Merah itu juga dijadwalkan akan melakukan pembicaraan dengan Mesir dan Turki.

"Saya perintahkan Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Umum untuk mulai menarik pasukan Rusia ke markas permanen mereka," terang Putin, seperti dilansir kantor berita RIA Novosti.

"Saya telah mengambil keputusan: bagian penting dari kontingen pasukan Rusia yang berada di Suriah akan kembali ke Rusia," imbuhnya.

Putin mengatakan, jika "teroris kembali muncul", Rusia akan "melancarkan serangan yang belum pernah mereka lihat".

"Kami tidak akan pernah melupakan korban dan kerugian yang diderita dalam perang melawan teror baik di Suriah maupun di Rusia," tutur Putin.

Rusia pertama kali meluncurkan serangan udara ke Suriah pada September 2015. Itu merupakan intervensi terbesar Moskow dalam beberapa dasawarsa di Timur Tengah.

Kebijakan Rusia tersebut dianggap menjadi penyokong utama bertahannya rezim Assad sekaligus secara dramatis meningkatkan pengaruh Moskow di Timur Tengah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini