Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Militer Myanmar Jadikan Pemerkosaan Senjata Perang ke Rohingya?

Sejumlah perempuan Rohingya menjadi korban kejahatan seksual. Militer Myanmar diduga menjadikan pemerkosaan sebagai senjata perang.

Liputan6.com, Dhaka - Bekas sayatan di leher Rashida Begum masih berwarna merah gelap. Luka itu dalam, baru permukaannya yang mengering. Cedera fisik perempuan Rohingya itu lambat laun pulih, namun lara di hatinya menganga lebar.

"Lihat, aku mencoba untuk melawan, hingga tetes darah penghabisan," kata dia, sambil menunjukkan belas luka di lehernya, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (18/11/2017).

Kala itu, Rashida mengisahkan, ia dan sejumlah perempuan Rohingya melihat sejumlah serdadu Myanmar sedang menggali lubang besar, untuk kuburan massal.

"Kami berlima, perempuan semua, membawa bayi-bayi kami," kata dia, pelan, nyaris berbisik. "Lalu, mereka mencengkeram kami, menyeret kami ke dalam sebuah rumah, dan menutup pintu."

Di dalamnya, sejumlah serdadu merampas bayi laki-laki Rashida dari gendongannya. Dengan sadis, para bocah malang itu dibunuh di depan ibunya.

"Aku menjerit, menangis sejadi-jadinya. Namun, mereka sama sekali tak mendengar. Mereka bahkan tak mengerti bahasa yang kami gunakan," kata perempuan itu.

Para pria berseragam itu bertindak bengis dan tanpa ampun. Mereka berusaha memotong lehernya dan melucuti pakaian perempuan itu. Rashida diperkosa secara brutal bersama empat perempuan lainnya.

Ketika mereka dalam kondisi tak sadarkan diri, serdadu kejam itu membakar rumah itu, membiarkan para korbannya tewas terpanggang.

"Kupikir, aku sudah mati. Namun saat kulit mulai terbakar, aku terbangun," kata Rashida.

Dalam kondisi telanjang dan kebingungan, Rashida lari dari kobaran api. Ia bersembunyi di sebuah ladang. Nyawanya selamat, namun perempuan itu berharap sebaliknya.

"Mungkin lebih baik jika aku mati, setidaknya aku tak akan mengingat hal-hal mengerikan itu. Orangtuaku juga dibunuh, banyak orang yang tewas," kata Rashida, dengan air mata mengalir di pilinya.

Perempuan 25 tahun itu terlalu trauma untuk menceritakan kembali serangan seksual yang ia alami, apalagi mengingat nasib tragis yang menimpa putra kesayangannya. Hatinya yang luka diselimuti dendam.

"Kami baru lega jika para tentara yang memerkosa kami, membunuh orangtua kami, digantung," kata dia.

Rashida bukan satu-satunya perempuan Rohingya yang jadi korban. Militer Myanmar diduga kuat menggunakan pemerkosaan sebagai 'senjata' dalam strategi militer mereka yang brutal.

Sejumlah perempuan lain, yang kini hidup di kamp-kamp pengungsi di perbatasan Myanmar dan Bangladesh, juga mengisahan hal serupa.

Salah satunya adalah Aisha. Saat militer menyerbu desanya, sang suami yang takut nyawanya terancam melarikan diri, meninggalkan istri dan lima anaknya.

Dua tentara mengusir anak-anak Aisha pergi. Mereka kemudian memperkosanya dengan todongan senjata.

"Mereka melakukannya pada perempuan lain. Ada banyak wanita lain di desa ini yang jadi korban. Mereka menggunakan (pemerkosaan)  sebagai senjata perang, "kata dia.

"Mereka melakukannya karena kami tidak mau meninggalkan rumah kami. Mereka berpikir, dengan itu mereka akan memaksa kami keluar."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kisah Horor dari Kamp Pengungsian

Lebih dari 615 ribu etnis muslim Rohingya melarikan diri dari kampung halamannya di Myanmar sejak Agustus 2017 lalu dari kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine.

Di negara bagian yang bergolak itu, militer Myanmar intensif melakukan 'operasi pembersihan', menargetkan 'teroris' menyusul serangkaian serangan ke sejumlah pos polisi yang dilakukan militan Rohingya yang menewaskan 12 aparat.

"Salah satu senjata militer yang paling mengerikan adalah, kekerasan seksual massal, dengan korban yang tak terhitung jumlahnya, baik perempuan maupun para remaja perempuan," demikan menurut laporan Human Rights Watch pada Kamis 16 November 2017.

Laporan tersebut mendokumentasikan pemerkosaan yang meluas terhadap para wanita dan anak-anak perempuan Rohingya, yang diduga dilakukan militer Myanmar. Para pelaku bahkan melakukan aksi bejatnya itu ketika mengenakan seragam.

Para relawan kemanusiaan mengatakan, sulit untuk mengestimasi berapa perempuan Rohingya yang menjadi korban pemerkosaan.

Namun, insiden tersebut terjadi secara massif, sehingga Doctors Without Borders (MSF) menyediakan program khusus untuk membantu para korban.

Aerlyn Pfeil, seorang bidan MSF mengatakan, salah satu caranya adalah mengajarkan pada sekelompok perempuan, sebuah lagu yang memberitahukan bahwa pendampingan pada para korban kejahatan seksual tersedia di kamp pengungsi.

"Pemerkosaan bisa terjadi pada siapapun. Setelah mengalaminya, tak mungkin lagi ada damai dalam pikiran. Itu bukan salah korban," demikian cuplikan lirik lagu. "Tiga hari setelah kejadian, Anda membutuhkan oban-obatan. Setelah tiga hari, Anda harus berkonsultasi pada dokter."

Di sisi lain, militer Myanmar membantah telah melakukan tindakan kejam itu. Mereka bahkan cenderung cuci tangan, seperti yang tertera dalam sebuah laporan internal, dengan bersikukuh mengatakan bahwa para tentara sedang merespons serangan militan.

Myanmar juga mengumumkan pergantian jenderal yang bertanggung jawab atas Negara Bagian Rakhine.

Sebelumnya, PBB mendeskripsikan situasi di Myamnar sebagai pembersihan etnis. Sejumlah pengamat bahkan menuding pihak militer sedang melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.

Sementara itu, para bidan yang bertugas di di kamp pengungsian di Pfeil menerima banyak beban. Tak hanya mengurus para pengungsi, tapi juga karena menerima terlalu banyak cerita horor yang terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

"Beberapa wanita yang saya ajak bicara -- saya menjadi orang pertama yang mereka beritahu," kata salah satu bidan. 

Dalam kondisi trauma berat, para korban masih harus bertahan hidup, memberi makan anak-anak mereka, mencari nafkah di tempat di mana martabat sulit didapat.

"Tentu, mereka takut hamil, para korban mengkhawatirkan infeksi menular seksual. Namun, mereka masih mengenakan pakaian yang sama, tidak memiliki atap di atas kepala anak-anak mereka dan tempat penampungan mereka masih belum dibangun," kata Pfeil.

Puluhan perempuan telah menerima perawatan medis dan psikologis untuk pemerkosaan, dan sekitar setengahnya adalah anak perempuan di bawah usia 18 tahun, MSF melaporkan awal bulan ini.

"Potongan untuk saya yang paling memilukan adalah wanita yang masuk masih mengenakan rok yang sama. Mereka masih memakai rok yang sama dengan saat mereka diserang," kata Pfeil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.