Sukses

Sambil Bawa Rudal, Iran Rayakan 38 Tahun Perebutan Kedubes AS

Para penunjuk rasa membawa salah satu rudal Iran yang paling kuat, Qadr. Mereka juga membawa gambar tentang anti-AS.

Liputan6.com, Teheran - Peringatan 38 tahun perebutan Kedutaan AS di Tehran jatuh pada Sabtu 4 November 2017. Tak seperti biasanya, kali ini warga Iran lebih antusias merayakan peristiwa itu. Kali ini, ribuan pengunjuk rasa mengarak sebuah nuklir di bekas bangunan kedubes AS kala insiden itu terjadi.

Perebutan kedubes AS pada 4 November 1979 dipicu oleh krisis penyanderaan dan membuat keretakan hubungan AS-Iran selama puluhan tahun.

Kala itu, sejumlah mahasiswa Iran berhasil memanjat dinding Kedutaan AS di Teheran. Mereka kemudian menyandera puluhan diplomat dan pegawai kedutaan AS selama 444 hari.

Eks kompleks kedutaan tersebut kini terkenal dengan sebutan "ruang spionase," dan tiap 4 November digelar demonstrasi merayakan peringatan perebutan kedubes itu.

Dalam peringatan kali ini, para pengunjuk rasa membawa salah satu rudal Iran yang paling kuat, Qadr. Mereka juga membawa gambar tentang anti-AS dan anti-Istrael. Demikian seperti dikutip dari CNN, Minggu (5/11/2017).

Massa meneriakkan slogan-slogan yang mengecam kebijakan Washington terhadap Iran dan meneriakkan "Death of America."

Hubungan AS-Iran telah tumbuh semakin tegang dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah Presiden Donald Trump secara terbuka menolak kesepakatan nuklir Iran pada bulan Oktober. Trump menolak untuk merumuskan kembali kesepakatan multilateral 2015 dan mulai membatasi Teheran.

Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, mengkritik Trump bersama para demonstran.

"AS telah lama terpukul oleh negara kita dan dengan demikian secara teratur cuma bisa pamer kekuataan saja," kata Shamkhani seperti dikutip Press TV.

"Dan ketika sebuah rudal diuji sejauh ribuan kilometer jauhnya, setelah mengeluarkan ancaman kosong yang dilakukan oleh presiden mereka adalah cuma kicauan belaka di Twitter," ujar Shamkhani merujuk pada misil Korut.

Pernyataan Shamkhani datang beberapa hari setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, "AS adalah musuh nomor satu dari Republik Islam (Iran)."

Selain soal kesepakatan nuklir, ketegangan AS-Iran makin meningkat pada saat Tehran telah memperbaiki hubungan politik dan militer dengan Rusia. Vladimir Putin mengunjungi Teheran pada hari Rabu lalu.

Khamenei mengatakan kepada Putin bahwa Teheran dan Moskow harus meningkatkan kerja sama untuk mengisolasi AS dan membantu meredakan konflik di Timur Tengah.

Iran dan Rusia sama-sama memihak Presiden Suriah Bashar al-Assad melawan pemberontak, beberapa di antaranya didukung oleh AS, dan ISIS yang berusaha menggulingkan Assad. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alasan Trump Tak Dukung Kesepakatan Nuklir Iran

Alasan Presiden Trump menolak memberikan sertifikasi kepatuhan nuklir kepada Iran karena dirinya beranggapan bahwa Negeri Para Mullah tidak memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian dan keamanan regional serta internasional.

"Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," ujar Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih, seperti dikutip dari The New York Times, Sabtu, 14 Oktober 2017.

The New York Times melanjutkan, Trump juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta JCPOA. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika ada tiga pemicu.

Pertama, Iran kembali mengaktifkan misil balistik lintas benuanya. Kedua, Negeri Para Mullah menolak melakukan negosiasi untuk memperpanjang perjanjian yang membatasi aktivitas nuklir mereka. Terakhir, Teheran terbukti kembali membuat bom.

"Jika kami tidak dapat menemukan solusi dengan Kongres AS dan sekutu kami, maka perjanjian itu akan dibatalkan," jelas Trump.

Sementara itu, menanggapi ancaman Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan, negaranya tidak akan memasuki negosiasi dan melakukan amendemen dalam bentuk apa pun terkait JCPOA.

Sebelumnya, Iran diketahui pernah melakukan uji coba rudal balistik, sesuatu yang memicu kemarahan AS, meski uji coba semacam itu bukan merupakan bentuk pelanggaran atas JCPOA.

Diprediksi, ke depannya Trump mungkin akan membujuk Senat AS untuk membentuk produk undang-undang (act) yang berisi sikap baru Washington terhadap isu nuklir Iran.

Namun, untuk membentuk legislasi semacam itu, butuh 60 suara dari total Senat AS. Itu berarti, Partai Republik -- yang mengusung Trump -- membutuhkan "kata sepakat" delapan suara anggota Senat dari Partai Demokrat agar aturan tersebut dapat rampung.

Akan tetapi, seperti dikutip dari The New York Times, seluruh anggota Senat dari Partai Demokrat terus konsisten mendesak Trump untuk tetap berkomitmen pada JCPOA.

Sejak masih menjadi kandidat presiden, Trump selalu menyebut kesepakatan nuklir Iran sebagai salah satu transaksi terburuk dan paling sepihak yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat.

Di sisi lain, beberapa pihak yang mendorong agar AS konsisten terhadap komitmen traktat tersebut menganggap, JCPOA dapat menjadi fondasi bagi hubungan baru antara Washington - Teheran.

"Kami jelas prihatin secara mendalam terhadap aktivitas regional yang mendistorsi Iran ... tapi saya tetap pada pendirian bahwa kesepakatan nuklir Iran merupakan capaian bersejarah yang tidak diragukan lagi telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman," jelas Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini