Sukses

Kisah 'Psikopat' Pelaku Pembantaian Penumpang Kapal Batavia

Kapal Batavia, yang membawa emas dan perak, berlayar ke Hindia Belanda atau Indonesia. Namun, nasib tragis menanti di tengah jalan.

Liputan6.com, Jakarta - Batavia dibangun di galangan kapal Amsterdam pada 1628. Dipersenjatai 24 meriam dan senapan pistol perunggu, bahtera milik Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu karam dalam pelayaran perdananya.

Akhir hayat Batavia diwarnai kisah pemberontakan dan pembantaian mengerikan yang terjadi di lepas pantai Australia.

Batavia angkat sauh dari Pelabuhan Texel Belanda pada 27 Oktober 1628. Kapal yang dikomandani pedagang senior bernama Francisco Pelsaert membawa batangan perak dan emas dalam jumlah besar. Logam-logam berharga itu hendak dipertukarkan dengan rempah-rempah di Hindia Belanda -- cikal bakal Indonesia.

Ada hal tak beres terdeteksi sejak awal pelayaran. Di antara 341 awak dan penumpang, ada sejumlah orang yang menonjol karena pembawaannya yang tak biasa.

Seperti dikutip dari The Vintage News, Sabtu (4/11/2017), wakil komandan kapal sekaligus nakhoda, Ariaen Jacobsz adalah salah satunya. Diduga, ia dan Pelsaert pernah bertemu di Surat, India. Sosok lain yang mencurigakan adalah pedagang yunior Jeronimus Cornelisz. Ia adalah seorang apoteker yang bangkrut dari Haarlem.

Cornelisz dituduh sebagai penganut aliran sesat. Ia melarikan diri karena takut dihukum atas keterkaitannya dengan Johannes van der Beeck (Torrentius), seorang pelukis dan diduga pengikut kelompok Rosicrucian yang dianggap bidah. Seniman itu bahkan punya reputasi sebagai orang yang percaya pada setan.

Tak lama setelah pelayaran dimulai, Jacobsz dan Cornelisz saling mengenal, dekat, bahkan kemudian bersekongkol mengambil alih kapal. Mereka mengincar emas dan perak yang menjadi muatan kapal. Alasannya, untuk bekal memulain hidup baru di tanah jauh. Keduanya kemudian meyakinkan sejumlah orang untuk bergabung dalam persekongkolan itu.

Batavia berhenti sebentar di Cape Town, untuk mengangkut perbekalan, lalu kembali berlayar.

Jacobsz berhasil mengarahkan kapal itu ke arah lain, terpisah dari armada. Saat Batavia sudah jauh dari rombongannya, komplotan itu segera beraksi. Plot pemberontakan dimulai.

Mereka berencana melecehkan penumpang perempuan yang kaya diam-diam, dengan itu diharapkan Pelsaert akan mendisiplinkan para awak dengan 'tak adil'. Perlakuan komandan itu diharapkan akan menyulut rasa tak suka para kelasi, yang kemudian akan bergabung dengan komplotan.

Target mereka adalah seorang gadis bernama Lucretia Jans. Namun, plot mereka gagal karena korban berhasil mengidentifikasi penyerang. Jacobsz dan Cornelisz memutuskan untuk menunggu Pelsaert menangkap para pelaut, namun hal itu tak pernah terjadi.

Pada 4 Juni 1629, Batavia menabrak karang di dekat Pulau Beacon di rangkaian Kepulauan Abrolhos. Kebanyakan orang berhasil selamat, dengan berenang menuju daratan, namun 40 dari mereka tak beruntung dan tenggelam.

Namun, nasib nahas mereka tak sebanding dengan apa yang menanti para awak dan penumpang yang selamat: terjebak dalam situasi tragis, bahkan paling mengerikan dalam sejarah Australia pada masa awal. 

Kerangka korban tragedi Kapal Batavia yang disimpan di  Western Australia Shipwrecks Museum, Fremantle (Wikipedia Creative Common/Guy de la Bedoyere)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pembantaian Berlangsung

Para penyintas berusaha mencari air dan makanan di pulau tersebut. Dan hasilnya, sungguh buruk. Tak ada sumber air minum ditemukan. Makanan nyaris tidak ada, kecuali singa laut dan burung-burung.

Sekelompok orang yang dipimpin Francisco Pelsaert, nakhoda Jacobsz, sejumlah petinggi kapal, beberapa awak dan penumpang memutuskan untuk berlayar ke pulau besar terdekat dengan menggunakan perahu sepanjang 30 kaki.

Setelah 11 hari mencari di sepanjang garis pantai, air bersih akhirnya ditemukan. Namun, lokasinya sama sekali tak nyaman untuk ditinggali manusia. Rombongan akhirnya meneruskan perjalanan, Pelsaert memutuskan untuk menuju Batavia (Jakarta) di Jawa.

Ia sukses mencapai Batavia, hebatnya lagi, tak ada yang tewas dalam perjalanan panjang 33 hari menggunakan perahu itu.

Saat tiba di Jakarta, Jacobz ditahan atas tuduhan kelalaian. Gubernur Jenderal Jan  Pieterszoon Coen memberikan komando kepada Pelsaert untuk memimpin kapal bernama Sardam pergi menolong para penyintas yang terjebak di pulau.

Pada saat bersamaan, Jeronimus Cornelisz mengangkat dirinya sendiri sebagai penanggung jawab bagi para awak dan penumpang yang selamat.

Khawatir Pelsaer akan kembali dan menuduhnya melakukan pemberontakan, ia bersiap membajak kapal penyelamat. Untuk melakukan aksinya itu, ia harus menyingkirkan orang-orang yang dianggap penghalang.

Cornelisz menempatkan semua makanan dan senjata di bawah kendalinya, kemudian mengirim pasukan yang dipimpin serdadu bernama Wiebbe Hayes ke Pulau West Wallabi.

Wiebbe Hayes  tak menyadari, ia dan pasukannya dikirim ke pulau itu untuk dibiarkan mati di sana.

Setelah pasukan berlalu, Cornelisz memulai memulai kediktatorannya. Dia mulai membunuh siapa saja yang dianggapnya sebagai ancaman. Ia hanya membunuh satu orang, lainnya dilakukan oleh para pesuruhnya yang tak kalah bengis.

Untuk membuat situasi jadi lebih buruk lagi, dia menahan wanita-wanita itu dalam apa yang disebut "tenda pemerkosaan." Rencana jahatnya adalah mengurangi populasi di pulau itu menjadi 45 orang saja, agar pasokan makanan dan air aman selama mungkin.

Cornelisz dan gengnya membunuh lebih dari 110 pria, wanita, dan anak-anak.

Awalnya korban dieksekusi dengan dalih telah melakukan kejahatan seperti pencurian, namun kemudian, para pemberontak mulai membunuh mereka untuk bersenang-senang dan hanya karena mereka bosan.

Sementara itu, tentara di Pulau West Wallabi berhasil menemukan sumber air dan makanan untuk bertahan hidup. Karena tidak sadar akan pembantaian yang terjadi di bawah kekuasaan Cornelisz di pulau lain, mereka mengirim sinyal asap yang mengumumkan temuan mereka.

Dari keterangan beberapa korban selamat yang lari dari kebiadaban Cornelisz, pasukan yang dipimpin Wiebbe Hayes di West Wallabi berbalik melawan.  

Ketika kapal penyelamat mendekat, kedua kubu berlomba-lomba mendekat terlebih dahulu, untuk menyampaikan laporan versi mereka. Hayes berhasil mencapai Sardam duluan dan menjelaskan situasinya kepada Pelsaert. Pelsaert bersama Hayes kemudian berhasil menangkap semua pemberontak yang dipimpin Cornelisz.

Dalam bukunya, Batavia’s Graveyard, penulis asal Welsh, Mike Dash mengklaim bahwa Cornelisz diduga kuat adalah seorang psikopat.

Dalam penelitiannya, dia mengungkap bahwa Cornelisz menunjukkan perilaku yang tidak menentu: dia bermimpi membuat kerajaan untuk dirinya sendiri dan yakin bahwa semua keputusan dan tindakannya dapat dibenarkan karena Tuhan lah yang memerintahkan mereka -- bahkan untuk tindakan terkejam sekaligus.

"Alasan-alasan sepele dapat menyebabkan mereka menenggelamkan, menghantam, mencekik, atau pun menikam korban-korban mereka, termasuk wanita dan anak-anak," kata Mike Dash dalam bukunya.

Lokasi eksekusi pemberontak Kapal Batavia di sebuah pulau di Australia (Wikipedia Creative Common/Guy de la Bedoyere)

Cornelisz dan beberapa pemberontak kemudian dihukum berat. Kedua tangan mereka dipotong, dan digantung. Cornelisz bahkan dieksekusi di roda, hukuman paling berat yang berlaku kala itu.

Sejumlah pemberontak dibawa ke Kota Batavia untuk diadili. Jacob Pietersz, nakhoda Kapal Batavia disiksa, tapi dia tidak pernah mengakui keterlibatannya dalam pemberontakan. Dia mungkin meninggal di sebuah penjara di Jakarta.

Bangkai kapal Batavia ditemukan pada tahun 1963. Sejak saat itu, banyak penemuan arkeologi yang didapat terkait tragedi yang menimpa bahtera itu. Termasuk, jasad-jasad korban selamat yang kemudian jadi target pembantaian. 

"Sebelumnya, kami menemukan sebuah tengkorak, entah di mana kerangkanya. Tengkorak tersebut mengalami trauma berat, dengan sejumlah bagian yang hilang," kata Kepala Arkeologi Maritim WA Museum, seperti dikutip dari Huffingtonpost.com.au.

Pada akhirnya tubuh korban tersebut ditemukan. "Selama ekskavasi kami menyadari bahwa orang tersebut diseret paksa ke kuburnya. Itu bisa dilihat dari tata letak tubuhnya," tambah dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.