Sukses

Industri Fashion Australia Didesak Akhiri Eksploitasi Buruh di LN

Fatimah, seorang warga Bangladesh (25), hanya menghasilkan 43 sen per jam atau setara dengan Rp 4.400.

Liputan6.com, Dhaka - Industri fashion Australia didesak untuk mengakhiri eksploitasi buruh yang sebagian besar pekerjanya berasal dari luar negeri. Protes tersebut berawal dari laporan sebuah organisasi nonprofit bernama Oxfam Australia.

Dikutip dari laman ABC Australian Plus, Senin (30/10/2017), para pekerja pembuat pakaian yang sebagian buruh asal Bangladesh diupah begitu rendah.

Hanya sekitar 39 sen dolar Australia atau setara dengan Rp 4.000 per jam.

Sebuah perusahaan konsultan bernama Deloitte Access Economics dilibatkan oleh Oxfam untuk menganalisis rantai pasokan garmen Australia dan menghitung proporsi biaya dan keuntungan yang didapat perusahaan pakaian.

Peneliti dari Deloitte juga menemukan bahwa upah buruh Bangladesh sangat rendah. Hanya 2 persen dari harga pakaian yang mereka jual di pasaran.

Perusahaan Australia seperti Target Australia, Cotton On, Kmart, Big W, H&M, Pacific Brands dan Just Group menggunakan pabrik luar negeri sebagai pemasok, termasuk pabrik di Bangladesh.

Fatimah, seorang warga Bangladesh berusia 25 tahun hanya menghasilkan 43 sen per jam atau setara dengan Rp 4.400. Ia bekerja di sebuah pabrik pembuatan pakaian untuk produk Big W, H&M, dan merek global lainnya.

Laporan dari Oxfam bahkan menyebut, Fatimah sering tak punya makanan dan hanya tidur di lantai beton bangunan apartemen akibat upahnya yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Direktur Eksekutif Oxfam Australia, Helen Szoke, mengatakan, meski biaya hidup di beberapa negara terbilang rendah, gaji yang dibayarkan oleh industri garmen tersebut jauh dari kata layak.

Dengan upah sebesar itu, seorang pekerja belum dapat menutupi biaya kebutuhan dasarnya, seperti makanan dan tempat tinggal.

"Hal ini kerap terjadi pada buruh wanita di Bangladesh, Vietnam, dan Indonesia. Bekerja selama berjam-jam. Dilakukan selama enam hari dalam satu minggu, tapi upah yang begitu rendah," ujar Helen Szoke.

Ia mengatakan, pihak perusahaan di Australia harus memastikan para tenaga kerja luar negeri memiliki pendapatan yang mencukupi untuk hidup mereka.

Industri busana Australia menghasilkan lebih dari 27 miliar dolar Australia atau setara dengan Rp 282 triliun sepanjang tahun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini