Sukses

14-10-1962: Ketika AS dan Soviet di Ambang Perang Nuklir

Hari ini, 55 tahun yang lalu, Krisis Misil Kuba dimulai, menghantarkan Amerika Serikat dan Uni Soviet di ambang konflik nuklir.

Liputan6.com, Washington, DC - Hari ini, 55 tahun yang lalu, Krisis Misil Kuba dimulai, menghantarkan Amerika Serikat dan Uni Soviet di ambang konflik nuklir pada era Perang Dingin.

Peristiwa itu telah berakar selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, bagi Washington DC, 14 Oktober ibarat pemantik peristiwa tersebut. Demikian seperti dikutip dari History.com, Jumat (13/10/2017).

"Pada 14 Oktober, pesawat intai Lockheed U-2 mengambil gambar dari udara yang jelas menunjukkan sejumlah situs misil balistik berhulu ledak nuklir yang tengah dibangun di Kuba. Gambar itu kemudian diserahkan kepada Gedung Putih keesokan harinya, menandai awal mula Krisis Misil Kuba," jelas sebuah penjelasan dari laman resmi Kementerian Luar Negeri AS, History.state.gov.

Situs itu hanya berjarak sekitar 144 km dari garis pantai perbatasan Amerika Serikat.

Sebagai latar belakang, AS dan Soviet sempat berseteru terkait Kuba dalam periode Perang Dingin.

Pada April 1961, AS menginisiasi operasi militer yang dikenal dengan nama Invasi Teluk Babi (Bay of Pig Invasions). Negeri Paman Sam melatih dan mempersenjatai pengungsi sekelompok orang Kuba untuk melakukan kudeta bersenjata terhadap Fidel Castro, pemimpin Kuba pada saat itu.

Invasi itu tidak berhasil, namun, cukup membuat Castro khawatir terhadap invasi jilid dua dari AS. Maka, sebagai langkah pencegahan, pemimpin Kuba itu mencari dukungan kepada Soviet.

Pada 1962, Presiden Soviet Nikita Khrushchev mengerahkan sekitar 20.000 Tentara Merah ke Kuba sebagai penasihat militer untuk Angkatan Bersenjata Kuba. Selain itu, Negeri Tirai Besi juga mulai memindahkan sejumlah misil dan pesawat bomber ke negara yang dipimpin Fidel Castro itu.

Keputusan yang membuat tensi Perang Dingin mengalami eskalasi itu menuai berbagai kritik, bahkan dari kalangan domestik Soviet. Akan tetapi, Khrushchev punya alasan tersendiri.

Pertama, penempatan sejumlah personel dan misil itu merupakan aksi, untuk mencegah AS menginvasi Kuba untuk kedua kalinya. Khrushchev pun juga sangat yakin, Negeri Paman Sam akan melakukan Bay of Pig Invasions jilid dua.

Sementara itu, menempatkan misil di dekat wilayah AS merupakan cara bagi Soviet untuk membalas Washington atas perlakuan serupa yang mereka lakukan.

Sebelum Krisis Misil Kuba, AS diketahui memiliki peluncur rudal nuklir di Turki.

AS, yang ingin mengetahui kebenaran tentang eksistensi situs rudal nuklir Soviet di Kuba, mengirim sebuah pesawat intai Lockheed U-2 ke kawasan. Pesawat itu berhasil memotret jelas sejumlah hulu ledak milik Negeri Tirai Besi di sana.

Dua hari setelahnya, foto yang diambil Lockheed U-2 diserahkan kepada Presiden AS John F Kennedy.

Sang presiden kemudian memanggil sejumlah penasihatnya untuk mempertimbangkan pilihan dan tindakan yang akan diambil oleh AS. Beberapa menyarankan serangan udara untuk menghancurkan rudal nuklir Soviet tersebut.

Penasihat yang lain mengusulkan agar Washington DC mengeluarkan teguran keras kepada Soviet dan Kuba.

Setelah berbagai opsi digelar di atas meja. Kennedy akhirnya memutuskan untuk mengirim armada kapal perang untuk memblokade Kuba.

Pada 24 Oktober, Soviet membalas langkah AS, dengan mengirim armada kapal perang ke dekat armada AS. Khrushchev juga menyebut, bahwa blokade itu merupakan aksi agresi.

Pada 26 Oktober, Kennedy mulai mempertimbangkan bahwa opsi menyerang Kuba dan situs rudal nuklir Soviet yang ada di sana merupakan satu-satunya jalan keluar.

Krisis itu berakhir setelah kedua negara memutuskan untuk bersama-sama memindahkan situs rudal nuklirnya (AS di Turki dan Soviet di Kuba). Soviet juga meminta agar AS berjanji untuk tidak menginvasi Kuba.

Sementara itu, pada tanggal 14 Oktober 1994, Nobel Perdamaian diberikan kepada pemimpin Palestina Yasser Arafat, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres yang telah membuat perjanjian Oslo Accords terkait pemerintahan Palestina yang berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.

Sejarah juga mencatat pemecahan rekor penerjunan bebas dari langit tertinggi yang dilakukan seorang penerjun asal Austria, Felix Baumgartner. Dia melompat dari ketinggian 128.176 kaki atau 39.068 meter di langit Roswell, New Mexico dan tiba di permukaan dengan selamat, pada 14 Oktober 2012.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini