Sukses

Tinjau Konflik di Sudan Selatan dan Kongo, AS Akan Kirim Delegasi

Presiden Donald Trump berencana untuk mengirim Dubes AS untuk PBB ke Sudan Selatan dan Kongo.

Liputan6.com, New York - Presiden AS Donald Trump telah mengatakan kepada para pemimpin Afrika bahwa dia akan mengirim duta besar untuk PBB Nikki Haley ke Sudan Selatan dan Republik Demokratik Kongo.

Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley rencananya akan dikirim oleh Trump ke Afrika guna mengobservasi situasi konflik di Sudan Selatan dan Kongo. Rencana itu disampaikan oleh sang presiden di sela-sela Sidang Umum PBB di New York pada 20 September 2017.

"Kami memantau secara ketat dan merasa sangat prihatin karena kekerasan yang sedang berlangsung di Sudan Selatan dan di Kongo," kata Trump dalam sebuah pertemuan pada hari Rabu lalu dengan para pemimpin Afrika di sela-sela Sidang Umum PBB. Demikian seperti dilansir VOA News Indonesia, Jumat (22/9/2017).

"Jutaan jiwa terancam dan kami terus memberikan bantuan kemanusiaan. Namun hasil nyata dalam menghentikan bencana ini memerlukan proses perdamaian yang dipimpin oleh orang Afrika, dan komitmen yang benar-benar serius dari semua pihak yang terlibat," tambah presiden ke-45 AS itu.

Trump mengatakan bahwa Haley akan "membahas beragam konflik dan resolusi, serta yang terpenting, pencegahan".

Sudan Selatan terperosok ke dalam perang saudara yang sudah berlangsung empat tahun dan membuat sekitar empat juta orang mengungsi.

Sementara Kongo mengalami keresahan yang meningkat karena bentrokan komunal dan ketidakpastian mengenai pemilihan umum. Presiden Kongo Joseph Kabila masih menjabat setelah mandatnya berakhir pada Desember 2016.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

1 Juta Anak-Anak Melarikan Diri dari Konflik Sudan Selatan

Lebih dari satu juta anak-anak telah melarikan diri dari Sudan Selatan akibat meningkatnya konflik, demikian menurut PBB.

Sementara itu, anak-anak dengan jumlah serupa, terlantar di negara tersebut.

Dikutip dari BBC, pejabat badan pengungsi PBB, Valentin Tapsoba, menyebut bahwa krisis pengungsi Sudan Selatan sebagai yang paling mengkhawatirkan di dunia.

Negara paling muda di dunia itu terkoyak oleh perang saudara sejak 2013. Hal itu bermula akibat pecahnya ketegangan politik, yakni saat Presiden Salva Kiir memecat wakilnya Riek Machar karena dituduh merencanakan kudeta.

Saat perang pecah, negara tersebut baru dua setengah tahun merdeka dari Sudan. Akibat konflik, rakyatnya harus bergulat dengan krisis pangan yang mengerikan. Bahkan, di antara mereka ada yang terpaksa makan tanaman liar.

Dilansir Huffington Post, krisis tersebut meningkat secara drastis pada musim panas 2016. Hal itu memicu warga melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Uganda, dengan jumlah hingga 3.000 jiwa per hari.

Satu juta pengungsi Sudan Selatan melarikan diri dari negara tersebut pada September 2016. Kurang dari delapan bulan kemudian, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat, di mana jumlah anak-anak menyumbang 62 persen dari semua pengungsi Sudan Selatan.

"Pengungsi anak-anak menjadi wajah menentukan dari keadaan darurat, sangat menyedihkan," kata Tapsoba.

Konflik tersebut terus berlanjut menimbulkan korban, ketakutan, dan tekanan. Tak sampai di sana, hampir tiga perempat anak-anak di Sudan Selatan terpaksa tak bersekolah -- proporsi tertinggi di dunia.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.