Sukses

RS Bangladesh Kewalahan Menangani Korban Luka Pengungsi Rohingya

RS Bangladesh di Cox Bazar mengaku kewalahan menangani ratusan ribu luka pengungsi Rohingya. Kebanyakan pasien mengalami luka tembak.

Liputan6.com, Cox Bazar - Seorang bocah laki-laki Rohingya yang berusia 7 tahun terbaring lemas tak berdaya di matras lusuh yang terhampar di lantai sebuah rumah sakit Bangladesh. Ia tak mengenakan baju, sehingga tampak balutan perban putih besar menutupi bagian dada dan rusuknya.

Di perban bocah itu, darah membercak dan merembes. "Habis ditembak", kata Abu Tahir, ayah bocah tersebut menjelaskan kondisi anaknya. Demikian seperti dikutip dari Associated Press, Senin (11/9/2017).

"Tentara (Myanmar) saat itu menembaki kami. Kemudian, aku lihat anakku terjerembab ke tanah," katanya.

Sementara itu, seorang pria, Abdul Karim namanya, mengalami luka tembak di bagian pergelangan kaki kiri dan bahu kanan kala tentara Myanmar serta warga sipil anti-Rohingya menyerang desanya beberapa hari lalu.

"Dia kemudian jatuh. Lantas kami menyeretnya menggunakan selimut," ujar Asir Ahmed, kakak Karim.

Putra Abu Tahir dan Abdul Karim merupakan dua dari sekitar 80 pasien Rohingya yang tengah mendapat perawatan di Sadar Hospital, Cox Bazar, Bangladesh. Sebagian besar pasien menderita luka tembak, menurut AP yang menerima laporan dari petugas medis di sana.

Shoabib, anak Abu Tahir, bocah Rohingya yang mengaku terkena peluru yang ditembakkan oleh militer Myanmar, tengah mendapat perawatan di rumah sakit di Cox Bazar, Bangladesh (AP)

Cox Bazar merupakan sebuah kota di pesisir pantai barat Bangladesh yang berbatasan dengan Rakhine, Myanmar, di selatan. Kini kota yang merupakan salah satu destinasi wisata di Bangladesh itu tengah menghadapi gelombang pengungsi Rohingya yang datang dari Rakhine.

Menurut estimasi PBB, sekitar 300.000 etnis Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine pascakonflik bersenjata antara militer Myanmar dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pada 25 Agustus lalu.

Sebagian besar warga sipil yang terdampak konflik menjadikan Cox Bazar, Bangladesh, sebagai destinasi untuk mengungsi.

Menurut laporan sejumlah jurnalis asing, pegiat HAM, dan pengakuan petugas perbatasan Bangladesh, sejumlah pengungsi Rohingya datang dalam keadaan terluka atau dengan kondisi kesehatan yang sangat buruk.

Abdul Karim, pria Rohingya yang menderita luka tembak di kaki dan bahu akibat serangan militer Myanmar dan warga sipil anti-Rohingya yang terjadi beberapa hari lalu, terbaring di rumah sakit di Cox Bazar, Bangladesh (AP)

Mereka yang terluka diduga menjadi korban kekerasan dari militer Myanmar atau warga sipil anti-Rohingya saat menuju Bangladesh. Sementara mereka yang mengalami kondisi kesehatan buruk disebabkan dehidrasi, kelaparan, atau kelelahan.

Jumlah orang Rohingya yang membutuhkan perawatan medis begitu banyak, sehingga Sadar Hospital--salah satu rumah sakit utama di Cox Bazar--kewalahan menangani mereka.

Associated Press menyebut Sadar Hospital yang memiliki 20 dokter harus menangani ratusan pasien Rohingya, sehingga turut menyebabkan rumah sakit dengan daya tampung terbatas itu mengalami kelebihan kapasitas.

Menurut dokter yang menangani, kebanyakan pasien mengalami luka tembak, luka benda tumpul, dan luka tusuk.

"Tidak pernah kami menyaksikan luka akibat kekerasan yang begitu serius sebelumnya," jelas dr. Shaheen Abdur Rahman Choudhurry, Kepala Sadar Hospital.

Dildar Begum, perempuan Rohingya mengaku menjadi korban penusukan akibat serangan militer Myanmar di Rakhine, tengah mendapat perawatan di rumah sakit di Cox Bazar, Bangladesh. Kepada AP, ia menuturkan, suaminya tewas akibat serangan tersebut (AP)

"Luka yang mengkhawatirkan adalah yang mengalami infeksi. Karena mereka melintasi jalur yang banyak mengandung kuman atau bakteri penyebab infeksi," ujarnya.

Pada pekan pertama kala gelombang pengungsi terjadi, dokter di Sadar Hospital mengaku merawat 30 etnis Rohingya akibat luka tembak. Pekan berikutnya, ada 50 pasien.

Jumlah pasien Rohingya yang semakin meningkat memicu rumah sakit itu membentuk bangsal khusus untuk merawat kelompok etnis tersebut. Diprediksi, memasuki satu bulan pascakonflik, jumlah pasien yang dirawat oleh rumah sakit itu akan kembali meningkat.

Pihak Sadar Hospital juga mengaku mengalami keterbatasan peralatan medis untuk merawat para pasien. Rumah sakit berharap mendapat bantuan dari lembaga humaniter peduli Rohingya.

"Sungguh situasi yang sangat memprihatinkan," ujar Dr. Choudhurry.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Situasi Terkini soal Rohingya

Kelompok pemberontak etnis Muslim Rohingya mendeklarasikan gencatan senjata yang akan dimulai pada Minggu, 10 September 2017. Mereka juga mendesak agar militer Myanmar melakukan hal serupa selekas mungkin.

Gencatan senjata itu diumumkan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA)--kelompok pemberontak Rohingya-- pada Sabtu kemarin dan akan dilaksanakan selama sekitar satu bulan. Demikian seperti dilansir BBC, Minggu, 10 September 2017.

Selama periode itu, militan ARSA meminta agar organisasi humaniter atau kemanusiaan terus memberikan bantuan kepada etnis Rohingya dan warga sipil terdampak konflik bersenjata di Rakhine.

Meski begitu, inisiatif gencatan senjata tersebut ditolak mentah-mentah oleh pemerintah dan militer Myanmar.

"Kami tidak bernegosiasi dengan teroris," demikian kata juru bicara pemerintah Myanmar. 

Sekitar 290.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri dari Rakhine dan mencari perlindungan di perbatasan di Bangladesh sejak 25 Agustus 2017, ketika konflik bersenjata antara ARSA dengan militer Myanmar pecah.

PBB mengatakan bahwa kelompok humaniter di lapangan membutuhkan dana sekitar US$ 77 juta berupa kebutuhan pokok dan kesehatan untuk membantu etnis Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine, di mana mereka kerap mendapat persekusi serta kekerasan dari militer yang turut didukung oleh kelompok etnis mayoritas.

Organisasi humaniter dan jurnalis asing di lapangan mengaku terkejut dengan kondisi dan banyaknya warga sipil Rohingya yang tengah melarikan diri dari Rakhine.

Mereka melaporkan, ribuan orang Rohingya yang melarikan diri melalui rute darat menuju Bangladesh, telantar di pinggir jalan, mengemis, dan mengejar truk makanan yang melintas.

Seorang reporter Associated Press menyaksikan satu orang pingsan karena kelaparan saat mengantre di pos distribusi makanan.

Koordinator Residen PBB di Bangladesh, Robert Watkins mengatakan, "Ada kebutuhan mendesak untuk membuat 60.000 tempat penampungan baru, makanan, air bersih, dan layanan kesehatan, termasuk layanan dan dukungan khusus untuk perempuan Rohingya penyintas kekerasan seksual."

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.