Sukses

Kritikan 7 Tokoh Dunia 'Mengepung' Aung San Suu Kyi

Pemimpin dunia, organisasi non-pemerintah, dan pemenang Nobel Perdamaian berbicara soal sikap Aung San Suu Kyi terkait krisis Rohingya.

Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi tengah menjadi pusat perhatian dunia, khususnya terkait cara sang pemenang Nobel Perdamaian itu menyikapi krisis Rohingya.

Menurut data PBB, sekitar 300.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh pascakonflik bersenjata yang terjadi pada 25 Agustus 2017 lalu, yang dipicu oleh penyerangan kelompok bersenjata Rohingya ke beberapa pos polisi di Rakhine.

Peristiwa itu menyulut pemerintah Myanmar melancarkan operasi militer susulan untuk merespons aksi Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) --kelompok bersenjata Rohingya.

Akibat rangkaian peristiwa itu serta dugaan aksi kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil, sekitar ratusan ribu orang terdampak konflik terpaksa melakukan eksodus massal. Dan kebanyakan di antara mereka adalah kelompok etnis Rohingya dan minoritas.

Komunitas internasional mengecam dugaan aksi kekerasan yang dilakukan oleh militer. Dugaan itu turut diperkuat dengan laporan jurnalis asing dan organisasi pegiat HAM dunia di Rakhine, yang menerima kesaksian para pengungsi yang mengaku menerima tindakan kekerasan dari militer Myanmar.

Akan tetapi, pemerintah Myanmar membantah adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap Rohingya. Aung San Suu Kyi mengklaim, "Penggambaran situasi terkait Rohingya 'dipelintir oleh arus informasi yang tidak akurat'," ujar Suu Kyi melalui sambungan telepon dengan Presiden Turki Reccep Erdogan.

Atas sikapnya yang bergeming terkait krisis Rohingya, sejumlah pemimpin dunia, beragam organisasi non-pemerintah, dan berbagai pemenang Nobel Perdamaian melontarkan desakan, agar putri mendiang Jenderal Aung San itu dapat segera bertindak.

Berikut, desakan dan kritik yang dilontarkan 7 tokoh dunia kepada Aung San Suu Kyi soal krisis Rohingya, seperti yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Senin (11/9/2017). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

1. Malala Yousafzai, Pemenang Nobel Perdamaian

....

Pemenang Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, meminta Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutuk "perlakuan tragis dan memalukan" terhadap warga Rohingnya.

"Selama beberapa tahun terakhir, saya terus mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu sesama pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, untuk melakukan hal serupa. Dunia, juga muslim Rohingya menantinya," kata Malala dalam akun pribadinya @Malala, 3 September 2017.

Aktivis asal Pakistan tersebut mengaku, hatinya ikut terluka saat mendengar penderitaan muslim Rohingya.

"Hentikan kekerasan. Hari ini kita menyaksikan anak-anak kecil tewas akibat tindakan aparat keamanan Myanmar. Bocah-bocah itu tak menyerang siapa pun, tapi mengapa rumah mereka dibakar hingga binasa," tulis Malala.

"Jika Myanmar bukan rumah mereka, di mana mereka tinggal selama beberapa generasi, lalu di mana? Warga Rohingya harus diberikan kewarganegaraan Myanmar, negara di mana mereka dilahirkan."

Malala juga mengimbau negara-negara lain, khususnya Pakistan, dari mana ia berasal, memberikan bantuan pada warga Rohingya.

3 dari 8 halaman

2. Boris Johsnon, Menlu Inggris

Boris Johnson (Petros Giannakouris/AP)

Kritik terhadap Aung San Suu Kyi juga datang dari Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson pada 4 September 2017. Ia menyebut, perlakuan terhadap muslim Rohingya telah menodai reputasi negara itu. Johnson pun mendesak Suu Kyi untuk memanfaatkan kualitasnya yang luar biasa demi mengakhiri penderitaan warga Rohingya di Rakhine.

"Aung San Suu Kyi dianggap sebagai salah seorang tokoh paling menginspirasi, tapi perlakuan terhadap Rohingya sangat menjelekkan reputasi Myanmar," ujar pria yang akrab disapa Bojo tersebut seperti dikutip dari BBC pada Senin 4 September 2017.

"Suu Kyi menghadapi tantangan besar dalam memodernisasi negaranya. Saya harap dia sekarang dapat menggunakan kualitasnya yang luar biasa untuk menyatukan negaranya, untuk menghentikan kekerasan dan prasangka yang menimpa baik umat muslim maupun komunitas lainnya di Rakhine," imbuh Suu Kyi.

4 dari 8 halaman

3. Desmond Tutu, Pemenang Nobel Perdamaian

Aung San Suu Kyi dan Desmond Tutu (Khin Maung Wi, AP)

Peraih Nobel Perdamaian Desmond Tutu (85) mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (72) untuk mengakhiri kekerasan yang menimpa etnis Rohingya. Sama seperti Tutu, Suu Kyi juga merupakan penerima Nobel Perdamaian.

Tutu yang juga merupakan seorang Uskup Agung mengatakan bahwa "kengerian" dan "pembersihan etnis" di wilayah Rakhine telah memaksanya untuk bicara, menentang wanita yang dikagumi dan dianggapnya sebagai saudara perempuan tercinta. Demikian seperti dikutip dari The Guardian pada Jumat 8 September 2017.

Meski Suu Kyi membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintahannya tengah menangani krisis Rohingya, Tutu mendesak peraih Nobel Perdamaian lainnya untuk melakukan intervensi.

"Saya sekarang sudah tua, jompo, dan pensiun secara resmi. Namun, saya melanggar sumpah saya untuk tetap diam dalam urusan publik karena dipicu kesedihan mendalam," ungkap Tutu melalui sebuah surat.

"Selama bertahun-tahun saya memiliki foto Anda (Suu Kyi) di meja untuk mengingatkan saya akan ketidakadilan dan pengorbanan yang Anda alami atas cinta dan komitmen Anda bagi rakyat Myanmar. Anda melambangkan kebenaran," ujar Tutu.

"Kemunculan Anda dalam ranah publik menghilangkan kekhawatiran kami tentang kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rohingya. Namun, apa yang disebut dengan 'pembersihan etnis' dan 'genosida yang perlahan-lahan' saat ini dipercepat."

"Ini tidak sesuai bagi sebuah simbol kebenaran untuk memimpin negara dengan cara seperti itu. Jika ongkos politik untuk menaikkan Anda ke posisi tertinggi di Myanmar adalah sikap diam Anda, maka ini harga yang terlalu mahal," tutur aktivis anti-Apartheid tersebut.

5 dari 8 halaman

4. Shirin Ebadi, Pemenang Nobel Perdamaian

Shirin Ebadi, aktivis hak asasi manusia dan pemenang Nobel Perdamaian edisi 2003 menuduh, Aung San Suu Kyi telah berpaling dari demokrasi sejak naik ke tampuk kekuasaan Myanmar.

Ebadi juga menyebut, sebagai pemenang Nobel Perdamaian, Suu Kyi gagal menerapkan idealisme yang terkandung dalam penghargaan itu.

"Suu Kyi menerima penghargaan itu atas perjuangannya melawan opresi. Namun, ia gagal menerapkan idealisme penghargaan itu," jelasnya, seperti dikutip dari Al Jazeera, 11 September 2017.

6 dari 8 halaman

5. Antonio Guterres, Sekjen PBB

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres (AP Photo/Jean-Francois Badias)

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres menegaskan, sangat krusial bagi Myanmar untuk segera mengubah kebijakannya terhadap warga Rohingya. Pria asal Portugal itu melihat persoalan tersebut semakin pelik.

Menurut Gutteres, Myanmar harus segera memberikan kewarganegaraan atau memastikan status hukum warga Rohingya.

Kepastian hukum itu penting. Sebab, hanya dengan status yang jelas, etnis Rohingya bisa hidup normal, bergerak bebas, mendapat pekerjaan, dan memperoleh pendidikan.

"Sejarah diskriminasi panjang, keputusaasan, kemiskinan ekstrem terjadi di Rakhine. Kami meminta otoritas sipil dan militer Myanmar untuk mengakhir kekerasan ini," ucap Gutteres, seperti dikutip dari Associated Press, Rabu 6 September 2017.

"Kesedihan dan penderitaan warga Rohingya yang tidak terselesaikan sudah lama 'membusuk' dan ini jadi faktor tak terbantahkan dalam terciptanya destabilisasi regional," kata dia.

Ia juga mengutuk segala kekerasan yang diarahkan kepada etnis Rohingya. Krisis kemanusiaan tersebut telah berlangsung sejak 25 Agustus 2017.

Meski tidak secara langsung mengkritik Suu Kyi, sang sekjen meminta agar pejabat tinggi Myanmar harus berupaya untuk menghentikan kekerasan terhadap Rohingya.

"Otoritas Myanmar harus melakukan aksi tegas demi mengakhiri kekerasan dan untuk memberikan keamanan dan bantuan kepada semua pihak membutuhkan," ucapnya.

7 dari 8 halaman

6. Reccep Erdogan, Presiden Turki

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Reuters)

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan naik pitam menyaksikan kekerasan atas kelompok Rohingya. Dia menuduh Pemerintah Myanmar melakukan genosida terhadap etnis minoritas Muslim tersebut.

"Ada genosida di sana," ucap Erdogan, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu 2 September 2017.

"Mereka yang menutup mata atas genosida dengan berlindung di bawah alasan demokrasi adalah kaloboratornya," ucap dia.

Erdogan memastikan dia tak akan tinggal diam. Masalah tersebut akan dibawa dalam Sidang Umum PBB di New York akhir bulan ini.

Tidak cuma itu, persoalan ini telah dibicarakannya dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bersama pemimpin Muslim lain.

Menurut kantor berita Anadolu, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu meminta Bangladesh membuka perbatasannya. Semua biaya siap ditanggung oleh Turki.

"Kami juga akan berkomunikasi dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan berencana menggelar pertemuan tahun ini guna membicarakan isu ini, untuk mendapatkan solusi definitif," papar dia.

Meski tidak mengkritik Suu Kyi secara terbuka, namun, dalam sambungan telepon dengan sang pemimpin de facto Myanmar beberapa pekan lalu, Erdogan menyebut bahwa apa yang terjadi di Rakhine merupakan sebuah pelanggaran HAM.

8 dari 8 halaman

7. Tirana Hassan, Amnesty International

Direktur Respons Krisis untuk Amnesty International, Tirana Hassan merupakan salah satu individu yang paling vokal mengkritik perlakuan Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Meski tidak mengkritik Suu Kyi secara terbuka, Hassan meminta agar sang pemimpin de facto itu dapat segera menghentikan kekerasan dan menyelesaikan krisis di Rakhine dengan cepat.

"Rakhine merupakan bencana kemanusiaan yang sang buruk. Tidak ada justifikasi yang mampu membenarkan sikap untuk membatasi penyaluran bantuan untuk Rohingya," jelas Hassan seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin 11 September 2017.

Hassan juga mengutuk berbagai dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar, termasuk di antaranya terkait pemasangan ranjau di jalur yang dilintasi oleh para pengungsi.

"Otoritas harus segera menghentikan segala bentuk praktik kekerasan terhadap para pengungsi yang selama ini pun telah mengalami persekusi," jelasnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.