Sukses

Kelayakan Donald Trump Memimpin AS Dipertanyakan

Sebagian pihak menilai bahwa pidato kontroversial Donald Trump di Phoenix menguatkan tanda bahwa sang presiden tak kompeten memimpin.

Liputan6.com, Phoenix - Sebelum Presiden Amerika Serikat Donald Trump naik ke atas panggung untuk menyampaikan pidato political rally-nya di Phoenix, Arizona, pada 22 Agustus 2017 lalu, sejumlah individu terlebih dahulu bergiliran memberikan sambutan.

Menteri Perumahan dan Tata Kelola Perkotaan AS Ben Carson menjadi orang pertama yang naik ke mimbar. 

"Hidup kita terlalu pendek untuk mempersoalkan perbedaan yang memisahkan kita," kata dia, seperti yang dikutip dari Washington Post, Kamis (24/8/2017).

Secara tersirat, ia menyinggung isu rasisme yang kembali mencuat pasca-demonstrasi di Charlottesville, Virginia yang terjadi beberapa pekan lalu.

Setelah itu, giliran pendeta Franklin Graham naik ke panggung, memimpin doa dan memohon kepada Sang Mahakuasa untuk menghentikan segala perpecahan --baik politik dan sosial-- yang tengah terjadi di Negeri Paman Sam saat ini.

"Tuhan, bungkam mulut mereka yang ingin memecah belah dan berujar kebencian," tutur pendeta Graham dalam doanya.

Dan kemudian, Wakil Presiden AS Mike Pence mendapat kesempatan berdiri di atas panggung dan berpesan kepada seluruh bangsa.

"Presiden Trump sepenuh hati percaya bahwa Amerika membutuhkan kasih sayang seluruh bangsanya," ujar Wapres Pence yang berusaha ingin 'mendinginkan' situasi panas di AS akibat tendensi segregasi berbasis etnis, warna kulit, ras, suku, dan agama yang kembali mencuat ke permukaan.

Di belakang Pence, sejumlah peserta mengenakan kaus bertuliskan "Trump & Partai Republik tidak rasis".

Selepas itu, munculah sang 'orang nomor satu di AS'. Ia berjalan menuju panggung, disorot cahaya, dan diiringi riuh tepuk tangan.

POTUS pun berdiri di belakang mimbar. Siap menyampaikan pidatonya.

Akan tetapi, seperti yang telah terjadi, Trump tidak mengelaborasi pesan 'damai' seperti yang dinarasikan oleh para individu yang telah berdiri di atas panggung sebelum dirinya.

Tak pula ia mengindahkan tutur Pence tentang rasa cinta atau doa pendeta Graham tentang 'membungkam mulut pengujar kebencian'.

Sang presiden justru 'on rampage', secara temperamen melontarkan sindiran, kecaman, dan kritik tak beralasan, kepada berbagai pihak serta beberapa isu sosial-politik yang tengah terjadi di AS, demikian seperti yang dikutip dari CNN Kamis 24 Agustus 2017.

Salah satunya, ia mengungkit soal penurunan patung Robert E Lee yang menjadi biang keladi demonstrasi Charlottesville, Virginia.

"Mereka mencoba merampas budaya dan sejarah kita," jelas Trump yang kemudian menyalahkan para 'orang-orang lemah' yang memberikan izin atas penurunan sejumlah patung dan monumen peninggalan kubu Konfederasi Amerika dalam Perang Saudara AS (1861-1865).

Demo Donald Trump (AFP Photo/Laura Segall)

Dalam pidato itu, Trump juga tetap bersikukuh bahwa demonstrasi berdarah di Charlottesville, Virginia tetap dipicu oleh aksi kekerasan dari kedua kubu yang berseteru.

Lagi, ia tidak secara terang-terangan menyalahkan para kelompok neo-Nazi, rasis, fasis, supremasi kulit putih, dan ultranasionalis yang bertindak bagai api dalam sekam di Charlottesville.

Sindir juga dilancarkan kepada beberapa figur politisi, seperti John McCain, sejumlah Senator AS --termasuk mereka yang mewakili Partai Republik. Dan tak ketinggalan, media.

Karena, bukan Trump jika pada sejumlah kesempatan yang ia punya tidak dimanfaatkan untuk menyindir media. Dalam pidatonya di Phoenix, sang presiden menyebut bahwa media menjadi 'kendaraan bertutur' bagi para kelompok pengujar kebencian di AS.

"Satu-satunya pihak yang memberikan platform bagi para kelompok penabur benci di negara ini adalah media dan berita palsu (fake news) yang mereka buat," ujar Trump.

"Orang-orang itu, dengan kamera mereka, media yang tidak jujur," lanjutnya, yang kemudian 'menyerang' CNN, New York Times, dan Washington Post.

Kelayakan Donald Trump Memimpin Dipertanyakan

Pidato sang miliarder eksentrik di Phoenix pada Selasa lalu memang diterima dengan hangat oleh para hadirin dan mungkin akan menjadi hal yang populer bagi para pemilih serta pendukung setianya.

Akan tetapi, bagi mereka yang memiliki sudut pandang objektif, mungkin akan menilai bahwa retorika yang dituturkan sang presiden di kota itu dapat menjadi dua pertanda.

Pertama, tanda bahwa kemampuan memimpinnya layak dipertanyakan.

"Saya sangat mengkhawatirkan kemampuan memimpinnya di Gedung Putih. Dan kini aku mulai mempertanyakan motivasinya dalam memimpin negara," jelas mantan Direktur Intelijen Nasional James Clapper merespons aksi pidato Trump di Phoenix.

"Pidato dan perilakunya (di Phoenix) saat itu sangat menakutkan dan mengganggu. Harus berapa lama lagi negara ini harus menanggung beban seperti itu?", jelas Clapper.

Demo Donald Trump (AFP Photo/Laura Segall)

Tak hanya itu, aksi sang presiden yang terus-menerus menyalahkan media, ketimbang memberikan pernyataan yang mendamaikan atau menyajikan solusi terkait demonstrasi Charlottesville beserta isu lain yang mencuat, seakan menunjukkan inkompetensinya dalam mengendalikan persoalan domestik.

"Mereka merupakan media yang tidak jujur, hanya membuat-buat berita. Mereka tidak melaporkan fakta. Padahal aku sudah berulang kali menyatakan kecaman kepada kelompok penebar kebencian dan kekerasan, dan seluruh kelompok neo-Nazi, supremasi kulit putih, dan Ku Klux Klan," jelas Trump dalam pidatonya di Phoenix.

Tanda kedua adalah, bukti bahwa pengaruh sang presiden di mata Partai Republik mulai mengalami kelunturan.

Beberapa anggota GOP (Grand Old Party, nama populer Republik) kini juga khawatir, jika sikap eksentrik Trump terus berlanjut, Partai Republik akan kehilangan kursi di Senat dan Kongres pada Pemilu Paruh Waktu 2018 (Midterm Election). Kekhawatiran itu diungkapkan oleh beberapa politisi GOP seperti Pemimpin Senat Mayoritas Mitch McConnell dan Senator Bob Corker.

Akan tetapi, menurut pengamat Partai Republik, Mike Shields, kritik para anggota GOP kepada presiden ke-45 AS itu harus disampaikan secara tepat sasaran.

"Memang benar untuk menekannya, memaksanya untuk bertanggung jawab atas sejumlah isu, dan mengoreksi perkataan salah yang ia katakan," kata Shields.

"Namun, jika kritik itu berubah bentuk menjadi aksi menilai kondisi mental dan psikis sang presiden, itu justru keliru. Karena hal itu justru akan semakin membuatnya senang."

 

Saksikan juga video berikut ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.