Sukses

Mengenal Sexbot, Boneka Seks yang Kian Lazim di Masa Depan

Melihat peningkatan kesulitan keintiman dalam budaya kita, maka penggunaan benda seksual pengganti yang tak bernyawa akan terus ada.

Liputan6.com, Jakarta - Di masa lalu, robot seks menjadi bagian cerita fiksi ilmiah, misalnya novel "The Silver Metal Lover", karya klasik terbitan 1981 oleh penulis Tanith Lee.

Dalam novel itu, seorang perempuan muda yang kesepian jatuh cinta pada robot lelaki. Kemudian, robot itu menjadi lebih mirip manusia karena merasakan cinta dari perempuan tersebut.

Novel itu menggugah pertanyaan penting dalam evolusi robot seks masa kini, akan sampai manakah kemajuan benda mati yang dibuat menjadi mirip manusia itu?

Apakah manusia akan berhenti memupuk hubungan dengan sesama manusia demi kenyamanan hubungan dengan pasangan yang tidak nyata?

Suatu penelitian "Sex Dolls - Creepy or Healthy?" oleh Knox, Huff, dan Chang mencoba mengetahui pandangan mahasiswa terhadap penggunaan pasangan seksual tak bernyawa yang semakin lazim disebut sexbot itu.

Kenyataannya, sexbot sudah lumayan sering hadir dalam film atau karya tulis fiksi ilmiah selama bertahun-tahun.

Para penulis penelitian itu mengamati bahwa boneka-boneka seks – yang dulunya disebut boneka cinta – sudah ada sejak Abad ke-17, sebagaimana terlihat dalam lukisan-lukisan di India.

Boneka-boneka seks juga pernah diiklankan melalui katalog di Paris sejak 1908 dan kemudian dalam majalah-majalah pornografi Amerika Serikat sejak 1968.

Bertambahnya kemajuan teknologi boneka seks yang ditandai hadirnya boneka yang realistis dan boneka tiup pada Abad ke-20, mencakup ciri-ciri yang lebih realistis dan kemampuan seksual yang mampu menyaingi kemampuan manusia.

Seperti dikutip dari Pyschology Today pada Senin (31/1/2017), kekhawatiran utama terkait kehadiran boneka-boneka itu adalah semakin memburuknya masalah antar pribadi, terutama di kalangan pria-pria pemalu, karena mereka bisa berkelit dari masalah-masa sosial.

Penggunaan boneka seks juga memperkuat pembendaan dan eksploitasi wanita, senada dengan kekhawatiran terkait beberapa jenis pornografi. Bagi beberapa orang, boneka seks lebih menarik daripada hubungan dengan manusia lain karena sifat interaksi yang satu arah.

Perasaan keintiman dengan boneka seks diduga 100 persen sekadar proyeksi dan hubungan dengan boneka seks serta pasangan virtual reality (VR) dapat menyingkirkan risiko emosional yang ada dalam hubungan dengan manusia lain, sehingga menjadi jawaban yang terlalu gampang untuk mengusir kesepian.

Lihatlah perkembangan pasar permainan seks VR yang mengizinkan pemain menciptakan pasangan ideal berdasarkan spesifikasi yang diinginkan untuk kemudian diperlakukan atau dicintai sesukanya tanpa imbal balik. Dengan demikian, bisa merusak para pemainnya.

Untuk mengetahui sikap kontemporer terhadap boneka seks, para peneliti meminta 345 mahasiswa dari sampel lewat tautan internet. Yang menarik, sekitar 80 persen responden adalah wanita, dari etnis beragam (70 persen berkulit putih), dan 90 persen heteroseksual.

Mereka menjawab 34 hal dalam survei terkait dengan sikap terhadap penggunaan boneka seks (tidak bergerak, tidak responsif) atau robot humanoid (lebih seperti manusia, responsif) untuk hubungan seks.

Terkait penggunaan humanoid, sebagian besar responden ditanyakan tentang kemungkinan jatuh cinta kepada robot dan kemampuan melakukan seks kapan pun karena robot "tidak bawel."

Ditanya juga tentang kemungkinan menikahi robot atau ketersediaan robot sebagai pemuas kebutuhan seks. Pertanyaan-pertanyaan juga dirancang untuk mengetahui stigma yang melekat pada seks dengan robot atau pada pengembangan rasa keintiman dengan robot.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perbedaan Pandangan

Masayuki Ozaki berjalan-jalan romantis dengan boneka seks miliknya. (Sumber AFP/Behrouz Mehri)

Secara keseluruhan, kebanyakan responden (68 persen) tidak mengerti bagaimana orang mau menggunakan boneka seks dan hanya kurang dari 20 persen mengerti mengapa orang memilih seks dengan boneka atau robot dibandingkan dengan manusia.

Tentang stigma yang ada, sekitar 1/3 melekatkan stigma pada penggunaan boneka atau robot seks, sekitar 40 persen bersikap netral, dan 28 persen tidak sepakat tentang adanya stigma.

Kebanyakan responden (76 persen) merasa seks dengan boneka atau robot sebagai hal buruk dan hanya 11 persen yang melihatnya sebagai gagasan yang baik.

Kaum pria jauh lebih berkemungkinan menyatakan keterbukaan tentang boneka seks untuk keperluan pribadi dan jauh lebih menerima gagasan mengembangkan perasaan keintiman terhadap robot humanoid.

Para responden yang lebih religius lebih rendah penerimaannya tentang seks dengan boneka atau robot. Mereka yang memandang hubungan seks sebelum pernikahan sebagai sesuatu yang salah juga kurang terbuka atau mengerti tentang penggunaan boneka atau robot humanoid seks.

Mayoritas responden tidak menerima gagasan penggunaan boneka seks atau pembentukan hubungan dengan robot humanoid, hanya minoritas yang terbuka kepada seks dan keintiman dengan boneka seks atau robot humanoid.

Mungkin tidak mengejutkan, mereka yang lebih terbuka pada gagasan demikian adalah kaum pria, kurang religius, dan memiliki sikap yang lebih luas terhadap seks.

Melihat peningkatan kesulitan keintiman dalam budaya kita – seperti tercermin melalui peningkatan angka perceraian dan semakin sulitnya orang mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan – penggunaan benda seksual pengganti yang tak bernyawa akan terus ada.

Dengan kemajuan robotik dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), maka pasangan keintiman seksual VR akan terus ada dan akan semakin lazim seiring berjalannya waktu.

Sebagaimana hal-hal lain yang mengubah ranah hubungan manusia – misalnya media sosial, kencan daring, pornografi, penerimaan jenis-jenis baru dalam hubungan dan seterusnya – maka penting bagi kita untuk mengamati bukan hanya perubahan sikap, tapi juga mengerti bagaimana pilihan-pilihan yang kita lakukan berdampak positif atau negatif.

Dengan demikian, semakin relevan pula pemikiran tentang penggunaan teknologi untuk manfaat terbesar (misalnya, secara terapetik) dan mencegah kerusakan yang diakibatkannya (misalnya ancaman terhadap keintiman dan hubungan).

Penelitian lanjutan dan debat budaya akan menjadi lebih penting lagi dalam membantu kita mengeri bagaimana kita mengubah diri kita dan bagaimana dampaknya bagi kita.

Mungkin di masa depan akan semakin lazim melihat adanya orang yang memiliki hubungan intim baik dengan manusia maupun robot humanoid bagi mereka yang menginginkannya.

Namun demikian, melihat kenyataan adanya orang yang tidak sepakat dengan gagasan penggunaan robot seks, apalagi hubungan dengan robot humanoid, maka perselisihan pendapat diduga akan semakin meluas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.