Sukses

Pentagon Membeli Banyak Obat Disfungsi Ereksi Viagra, Untuk Apa?

Transgender yang bertugas di militer Amerika Serikat disebut menjadi sebab meningkatnya pengeluaran kesehatan. Benarkah demikian?

Liputan6.com, Washington, DC - Di tengah hebohnya pengumuman Presiden AS Donald Trump melalui Twitter tentang transgender yang tak dapat bergabung di militer AS, sebuah statistik telah menarik perhatian, yakni soal pengeluaran biaya kesehatan anggota militer yang merupakan transgender.

Menurut Rand Corporation, diperkirakan pada tahun 2016, ada sekitar 4.000 anggota militer AS aktif dan cadangan yang merupakan transgender. Sementara beberapa aktivis menempatkan jumlah tersebut lebih tinggi dari 10.000 orang.

Rand juga memperkirakan bahwa masuknya kaum transgender di militer AS akan menyebabkan peningkatan pengeluaran kesehatan sebesar 0,13% (sekitar US$ 8,4 juta).

Hal itu merupakan salah satu alasan Donald Trump melarang transgender bertugas di militer AS.

Namun, seperti dikutip dari BBC pada Jumat (28/7/2017), Pentagon justru menghabiskan uang untuk obat disfungsi ereksi Viagra, sebesar US$ 84 juta tiap tahunnya. Jumlah itu lebih besar dari anggaran untuk transgender militer.

Ini menjadi bahan pertanyaan, mengapa Departemen Pertahanan AS menghabiskan dana untuk obat disfungsi seksual?

Berikut dua alasannya:

1. Pensiunan yang Menua

Pertama perlu diperhatikan bahwa laporan Military Times adalah edisi Februari 2015 yang berdasar pada data 2014 dari Divisi Kesehatan Pentagon.

Uang yang dihabiskan sebesar US$ 84,2 juta untuk tahun 2014. Namun, surat kabar itu juga melaporkan bahwa mereka menghabiskan US$ 294 juta untuk Viagra, Cialis dan obat-obatan disfungsi seksual lainnya semenjak 2011.

Pengeluaran itu kurang lebih sama dengan pembelian beberapa jet tempur.

Pada tahun 2014, sekitar US 1,18 juta resep diuangkan, kebanyakan untuk Viagra. Namun untuk siapakah obat-obatan itu?

Memang benar beberapa obat disfungsi ereksi digunakan oleh militer aktif.

Tapi sebagian besar untuk kelompok lain yang memenuhi syarat, termasuk jutaan pensiunan militer dan anggota keluarga mereka.

Sebenarnya, sekitar 10 juta orang secara keseluruhan diperkirakan mendapat biaya perawatan kesehatan oleh Pentagon, yang menghabiskan biaya US$ 52 miliar pada tahun 2012.

Telah diketahui dengan pasti bahwa disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada pria yang lebih tua. Biaya obat itu tidak murah dan jelas membebani para pensiunan.

Faktanya, kurang dari 10 persen resep Viagra dan sejenisnya dikeluarkan untuk para militer aktif, menurut Military Times.

Meski demikian, disfungsi ereksi kini meningkat di kalangan militer aktif semenjak perang di Irak dan Afghanistan mulai.

 

Saksikan video berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

2. Masalah Psikologi

Sebuah studi tahun 2014 oleh Armed Forces Health Surveillance Branch (AFHSB) menemukan bahwa 100.248 kasus disfungsi ereksi didiagnosis dialami oleh tentara aktif antara tahun 2004 dan 2013, dengan "tingkat kejadian tahunan" lebih dari dua kali lipat dalam jangka waktu tersebut.

Menurut penelitian tersebut, hampir separuh dari semua kasus disebabkan masalah psikologis.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Sexual Medicine pada tahun 2015 menemukan bahwa veteran laki-laki dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) secara signifikan lebih mungkin mengalami disfungsi ereksi dan gangguan seksual lainnya dibanding rekan-rekan mereka di bagian urusan sipil, demikian menurut Departemen Urusan Veteran AS.

Satu studi yang dikutip menemukan bahwa 85 persen veteran tempur pria dengan PTSD melaporkan mengalami disfungsi ereksi.

Pada tahun 2008, Rand Corporation melaporkan bahwa satu dari lima veteran perang AS di Irak dan Afghanistan menderita PTSD atau depresi berat.

Personil yang tidak pernah dikerahkan ke medan perang sebenarnya lebih cenderung menderita disfungsi ereksi daripada rekan-rekan mereka yang pernah bertugas seperti itu.

Akhirnya, disfungsi ereksi terkait dengan kondisi umum, termasuk penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes.

Pada tahun 2007, diperkirakan prevalensi disfungsi ereksi di kalangan pria AS adalah 18 persen.

Singkatnya: ini adalah kondisi yang umum, dan militer AS membayar untuk perawatan kesehatan jutaan pria, yang berarti obat yang banyak digunakan adalah Viagra dan obat-obatan sejenis lainnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.