Sukses

Seperti Ini Evaluasi Kebijakan HAM PBB di Indonesia

Indonesia menerima 225 rekomendasi dari 101 negara partisipan sidang UPR. Sebanyak 150 di antaranya terkait isu HAM. Bagaimana evaluasinya?

Liputan6.com, Jakarta - Perwakilan organisasi dan pemerintah RI yang bergerak dalam isu Hak Asasi Manusia, pada Selasa 25 Juli 2017, menggelar dialog bersama untuk menindaklanjuti sidang berkala Universal Periodic Review (UPR) Indonesia oleh Dewan HAM PBB.

Dialog tersebut dipimpin oleh Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Komisioner Komisi Nasional HAM RI, Komisioner Komnas Perempuan, LSM Ohana, dan Direktur HRWG.

"Dialog ini jadi ajang untuk menindaklanjuti dari UPR yang telah dilaksanakan pada Mei lalu. Bersama pemerintah dan lembaga swadaya pegiat HAM, harapannya, dialog ini mampu membantu meningkatkan implementasi kebijakan hak asasi manusia di Indonesia," jelas direktur senior HRWG Muhammad Hafiz --yang organisasinya merupakan inisiator dialog-- saat membuka kegiatan di Jakarta, Selasa (25/7/2017).

Sebagai latar belakang, sidang UPR Indonesia merupakan mekanisme di bawah payung Dewan HAM PBB di Jenewa yang bertujuan untuk mengevaluasi capaian implementasi dan peningkatan kebijakan HAM yang diterapkan di Tanah Air. Perhelatan itu dilaksanakan secara periodik, dan pada tahun ini, merupakan kali ketiga bagi Indonesia, setelah sebelumnya sempat dilaksanakan pada 2008 dan 2012.

Edisi ketiga sidang UPR Indonesia merupakan evaluasi yang dilakukan oleh 101 negara (dari total 193) anggota Dewan HAM PBB, atas pencapaian Indonesia sejak edisi sidang UPR sebelumnya. Sidang itu didelegasikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Pada edisi Mei lalu, Indonesia menerima 225 rekomendasi dari 101 negara partisipan sidang UPR. Dari total tersebut, RI menerima 150 rekomendasi isu HAM, yang nantinya akan diterjemahkan menjadi produk kebijakan. Sementara, 75 rekomendasi sisanya akan ditunda (pending) oleh pemerintah.

Menurut pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu), 150 rekomendasi negara anggota yang diterima oleh Indonesia meliputi beragam isu, seperti hak kelompok rentan (anak, perempuan, disabilitas, lansia, dll), jaminan perlindungan kebebasan beragama, penguatan institusi dan kehidupan HAM, pemenuhan hak sipil mendasar (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dll), perlindungan terhadap kelompok SOGI (sexual orientation dan gender identity) non-arus utama, pemberantasan perdagangan orang, keadilan penegakan hukum, isu pengungsi, pencari suaka, dan pekerja migran, serta jaminan kebebasan menyatakan pendapat.

Sementara itu, 75 rekomendasi negara yang ditunda meliputi isu HAM, seperti revisi KUHP dan KUHAP, penghapusan hukuman mati, perhatian terhadap hak masyarakat Papua, serta partisipasi Indonesia dalam sejumlah ratifikasi dan mekanisme hak yang diatur oleh PBB.

"Rekomendasi yang disampaikan oleh para negara anggota yang berpartisipasi harus ditindaklanjuti secara serius, termasuk juga 75 rekomendasi yang diputuskan oleh delegasi untuk ditunda implementasinya. Karena apa yang disampaikan merupakan hasil observasi langsung dari para delegasi perwakilan mereka yang ada di Indonesia," jelas Komisioner Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM RI, Nurkhoiron, menjelaskan bahwa seluruh isu hak asasi yang direkomendasikan kepada Indonesia merupakan topik langganan yang selalu bermunculan pada setiap sidang UPR. Baginya, pemerintah harus lebih proaktif agar setiap isu tersebut dapat diimplementasikan menjadi kebijakan HAM oleh pemerintah, agar sejumlah topik tersebut tidak kembali bermunculan pada edisi UPR selanjutnya.

"Ini jadi pekerjaan rumah dan tantangan bagi pemerintah Indonesia, untuk membahas isu-isu tersebut dengan lembaga, instansi, dan komunitas terkait. Supaya pemerintah dapat perspektif mengenai masalah yang dihadapi dalam proses produksi kebijakan," jelas Nurkhoiron.

"Khusus 75 yang di-pending, pemerintah harus terus mendorong agar isu-isu itu didiskusikan di setiap tataran pemangku kepentingan, bersama dengan pihak terkait. Kalau beberapa bisa dijadikan kebijakan yang implementatif, itu sudah bagus. Supaya harapannya, pada UPR selanjutnya, isu itu tidak lagi semuanya muncul," tambahnya.

Sementara itu, salah satu perwakilan lembaga swadaya pegiat HAM menyayangkan aksi pemerintah Indonesia yang dianggap tidak serius dalam meningkatkan pemenuhan hak bagi individu penyandang disabilitas dalam UPR 2017.

"Perhatian pemerintah untuk isu disabilitas masih kurang. Bahkan di komunitas pegiat HAM, isu pemenuhan hak penyandang disabilitas pun masih terpinggirkan. Kita berharap agar isu tersebut ke depanya dapat lebih disuarakan dan tentunya pemerintah dapat terlibat pada hal tersebut," jelas Jonna Damanik dari Ohana.

Langkah Pemerintah

Pihak pemerintah, yang hanya dihadiri oleh perwakilan Kemlu, menjelaskan, ada sejumlah alasan yang membuat para pemangku kepentingan tidak dapat atau menunda untuk sementara implementasi kebijakan HAM yang didasari atas rekomendasi sidang UPR.

"Tidak semuanya bisa kita setujui. Kita lihat berbagai alasan, seperti apakah isu yang direkomendasikan sejalan dengan rencana aksi nasional HAM pemerintah. Selain itu, kita juga butuh waktu panjang agar setiap pemangku kepentingan dari berbagai kalangan mampu menyelaraskan isu itu," jelas Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI Dicky Komar.

Komar juga menambahkan sejumlah alasan lain yang membuat rekomendasi tersebut di-pending oleh pemerintah. Hal itu seperti sulitnya untuk mentransformasikan rekomendasi menjadi kebijakan yang implementatif, tidak selarasnya usulan UPR dengan konteks faktual di lapangan dan konteks mekanisme regional, serta isu yang bersangkutan belum atau tidak menjadi prioritas nasional pemerintah.

Komar mencontohkan beberapa isu HAM rekomendasi UPR yang sulit diterjemahkan menjadi kebijakan, seperti misalnya, hukuman mati yang masih menjadi hukum positif dan isu kelompok SOGI (sexual orientation dan gender identity) non-arus utama.

"Kita lihat juga rekomendasi yang kebijakannya secara riil dapat diimplementasikan di Indonesia. Itu juga harus disesuaikan dengan konteks kapasitas dan kapabilitas kita," ujar Dicky.

"Bukan berarti itu tidak dapat diimplementasikan sepenuhnya. Kita butuh waktu, butuh proses, seperti menggeser paradigma serta konsultasi dengan berbagai pihak, dari tataran individu hingga kelembagaan," tambah Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.