Sukses

Pria dari Golongan Tertindas Diprediksi Jadi Presiden India

Ram Nath Kovind dari kaum Dalit dicalonkan menjadi Presiden India. Hasil pilpres akan diumumkan pada Kamis mendatang.

Liputan6.com, New Delhi - Pada Senin 17 Juli 2017, India menggelar pemilihan presiden. Sebanyak 4.900 legislator di seluruh negeri memberikan suaranya untuk memilih kepala negara.

Ada dua calon yang bersaing ketat dalam pemilihan tersebut. Pertama adalah Ram Nath Kovind, kandidat dari Bharatiya Janata Party (BJP) yang mendukung Perdana Menteri Narendra Modi.

Lawan utamanya adalah Meira Kumar, mantan diplomat yang dicalonkan pihak oposisi Partai Kongres. Yang menarik, keduanya berlatar belakang Dalit atau paria -- yang terpinggirkan dalam sistem kasta di India.

Seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (18/7/2017), meski hasil resmi pemilihan presiden baru diketahui Kamis 20 Juli 2017, namun di atas kertas, Ram Nath Kovind berpeluang menang.

Pria 71 tahun itu bahkan diperkirakan menang mudah dari saingan terberatnya. 

Mantan gubernur negara bagian Bihar itu diumumkan menjadi kandidat pemerintahan Narenda Modi pada Juni 2017 lalu.

Sejumlah orang menduga, pencalonannya adalah bagian dari strategi partai nasionalis Hindu untuk memenangkan suara dari kalangan Dalit.

Meski punya tanggung jawab yang signifikan di bawah konstitusi India, jabatan presiden yang dipilih sekali dalam lima tahun, lebih menitikberatkan pada seremonial. Kekuasaan menjalankan pemerintahan dan negara tetap ada di tangan perdana menteri. 

Ram Nath Kovind (AFP Photo)

 

'Untouchable'

Dalit seringkali dianggap komunitas yang 'untouchable' alias 'haram' untuk disentuh. Keberadaan mereka tak dianggap dalam masyarakat tradisional India.

Berada di luar empat kasta, komunitas Dalit menjadi yang paling miskin dan tertindas. Peluang mendapat pekerjaan, memperoleh pendidikan sangat sempit bahkan dianggap nyaris tak ada. Ketidakberuntungan bahkan sampai soal jodoh.

Dan karena dianggap 'tak murni' mereka dipinggirkan selama ribuan tahun sejarah India. Program afirmatif pemerintah selama 70 tahun belakangan belum berhasil mengatasi hal itu.

Sepanjang sejarah diskriminasi dilakukan dalam banyak hal, misalnya seperti kisah yang dipopulerkan pemimpin Dalit, BR Ambedkar. Konon, komunitas paria di sebuah desa dipaksa menggunakan penampung ludah yang diikatkan di leher mereka, agar liur mereka 'yang tak murni' tak menodai warga lain. 

Sementara, di desa lain, komunitas Dalit dilaporkan diharuskan membawa dahan pohon di belakang mereka -- yang diikatkan di dengan tali yang melilit pinggang -- agar tak meninggalkan jejak yang 'kotor'. Ranting-ranting di belakang mereka akan menghapus tapak kaki.

Secara terpisah, Badri Raina, dosen senior di Delhi University mengatakan, memenangkan dukungan Dalit menjadi hal penting bagi visi persatuan Hindu yang dikampanyekan Partai Bharatiya Janata (BJP). 

Namun, upaya partai tersebut menghadapi tantangan signifikan, terutama soal isu perlindungan terhadap sapi-sapi -- yang disucikan umat Hindu di India.

"Mata pencaharian Dalit tergantung pada industri ternak, baik untuk penyediaan nutrisi maupun pengolahan kulit, BJP sejauh ini belum membuat konsesi soal itu," kata Raina.

Tahun lalu di Gujarat, tujuh pemuda Dalit menguliti seekor sapi yang mati -- sebuah pekejaan yang dilarang dilakukan orang berkasta -- dicambuki oleh sejumlah orang. Rekaman aksi kekerasan yang beredar luas memicu protes.

Aturan industri daging yang ditetapkan Mei lalu, yang melarang penjualan sapi dan ternak lainnya untuk disembelih, sangat berdampak pada komunitas Dalit, juga warga minoritas Muslim.

Sementara itu, narasi soal perlakuan diskriminatif pada kaum Dalit terus muncul.

Misalnya pada bulan Mei, tim advance yang mempersiapkan kedatangan menteri BJP dari Uttar Pradesh, Yogi Adityanath dilaporkan membagikan sabun pada komunitas Dalit dan meminta mereka membersihkan diri sebelum sang pejabat tinggi tiba.

Jika resmi terpilih, Ram Nath Kovind akan menjadi presiden India kedua dari komunitas Dalit, setelah KR Narayan, yang memegang jabatan selama lima tahun sejak 1997.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.