Sukses

Wali Kota Teheran Mundur dari Pilpres Iran, Kompetisi Kian Sengit

Pengunduran diri Qalibaf dilihat sebagai upaya mengonsolidasikan oposisi demi tercapainya satu tujuan: mengalahkan calon petahana.

Liputan6.com, Teheran - Wali Kota Teheran Mohammed Bagher Qalibaf yang masuk daftar enam kandidat calon presiden Iran menyatakan mundur dari pencalonannya. Langkah ini diambilnya untuk memberikan dukungan terhadap Ebrahim Raisi, seorang ulama konservatif yang diyakini dekat dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

Pengunduran diri Qalibaf juga dilihat sebagai upaya mengonsolidasikan oposisi demi tercapainya satu tujuan: mengalahkan presiden petahana Hassan Rouhani dalam pilpres yang akan berlangsung pada 19 Mei 2017.

Ketika mengumumkan keputusannya, Qalibaf meminta para pendukungnya untuk berkontribusi dalam mendukung kesuksesan Raisi.

"Yang penting dan vital adalah menjaga kepentingan rakyat, negara, dan revolusi. Rencana ideal ini hanya bisa dicapai dengan mengubah status quo," kata Qalibaf seperti dimuat kantor berita IRNA dan dilansir The Washington Post, Selasa (16/5/2017).

Raisi, mengucapkan terima kasih atas dukungan Qalibaf. Ia menyebut langkah Qalibaf sebagai "tindakan revolusioner."

Di balik dukungan ini, muncul spekulasi Qalibaf dapat saja menjadi wakil presiden di pemerintahan Raisi. Ini sebagai imbalan atas sokongannya. Sejauh ini, Rouhani sendiri belum merespons pengunduran diri Qalibaf.

Pilpes Iran 2017 merupakan kali ketiga bagi Qalibaf maju sebagai kandidat presiden. Hal serupa dilakukannya dalam pilpres 2005 dan 2013.

Pada tahun 2005 ia mampu menarik dukungan 4 juta suara saat putaran pertama. Dan pada tahun 2013, dukungan terhadap Qalibaf mencapai lebih dari 6 juta suara.

Tidak diketahui pasti, berapa besar dukungan terhadap sosoknya saat ini. Yang jelas, masyarakat Teheran sempat "murka" dengan Qalibaf dan pemerintah daerah menyusul insiden kebakaran besar di sebuah bangunan bersejarah yang menyebabkan bangunan tersebut runtuh, membunuh 26 orang, termasuk di antaranya 16 petugas pemadam kebakaran.

Pilpres kali ini dipandang sebagai referendum atas kesepakatan nuklir Iran yang disepakati pemerintahan Rouhani pada tahun 2015. Perjanjian tersebut mengharuskan Negeri Para Mullah untuk membatasi pengayaan uraniumnya dan sebagai balasannya sejumlah sanksi ekonomi akan dicabut.

Sebagian besar warga Iran belum melihat atau bahkan merasakan manfaat dari kesepakatan nuklir tersebut. Hal ini dijadikan "amunisi" utama oleh Raisi untuk menyerang Rouhani.

Raisi sendiri dalam kampanyenya menjanjikan pemberian bantuan langsung tunai terhadap warga miskin. Kebijakan ini sempat populer di bawah pemerintahan Ahmadinejad.

Raisi yang merupakan mantan hakim syariah, menjabat sebagai ketua yayasan Imam Reza, sebuah lembaga amal besar di Iran. Pencalonannya telah mendapat dukungan dari dua perkumpulan ulama utama -- keduanya menolak mendukung siapapun dalam pilpres terakhir. Mereka bahkan menentang Rouhani.

Pencalonan Raisi telah menghidupkan kembali kontroversi seputar eksekusi massal ribuan tahanan di Iran pada tahun 1988. Masa itu menjadi salah satu bab paling gelap dalam sejarah Negeri Para Mullah pasca-revolusi 1979.

Raisi dikabarkan merupakan salah satu dari empat hakim syariah yang memutuskan eksekusi massal terhadap kelompok kiri dan pembangkang. Hal ini tidak pernah disinggung Raisi dalam kampanyenya, namun para pendukungnya telah membuat sebuah video untuk membelanya.

Meski Raisi akan mendapat dukungan dari Qalibaf, hal tersebut dinilai tidak akan membuatnya memenangkan pertarungan. Ini tidak lepas dari sejarah, sejak tahun 1981 setiap presiden yang mencalonkan diri kembali akan dengan mudah mempertahankan kekuasaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.