Sukses

PBB Desak Donald Trump Ikut 'Pojokkan' ISIS di Suriah

Utusan PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura mendesak Donald Trump untuk segera 'pojokkan' ISIS di Suriah.

Liputan6.com, Damascus - Utusan PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura, mengatakan pada Selasa 15 November 2016 bahwa, keputusan presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, untuk bekerjasama dengan Rusia dalam memerangi ISIS merupakan hal yang tepat untuk dilakukan.

Walaupun begitu PBB tetap mendesak Trump untuk membantu penekanan bidang politik dalam upaya menghentikan kelompok militan itu merekrut anggota baru.

Seperti dikutip dari Reuters, Rabu (16/11/2016), Staffan mengatakan bahwa pertempuran melawan ISIS penting, namun untuk mencapai kemenangan 'abadi' diperlukan pendekatan solusi politik yang baru.

"Dengan kata lain, harus merencanakan sejenis perubahan politik di Suriah. Jika tidak begitu warga yang tidak senang dengan kondisi di wilayah konflik itu, mungkin akan bergabung dengan ISIS. Padahal mereka sedang memerangi kelompok yang juga disebut Daesh itu," kata Staffan kepada BBC.

Utusan PBB untuk Suriah itu tidak menjelaskan mengenai detail perubahan politik yang dibicarakannya. Tapi Staffan mengatakan hal itu akan menjadi fokus dalam diskusi AS-Rusia.

Staffan menduga perubahan itu dapat membawa pada pemerintahan sejenis desentralisasi Irak, memberikan wewenang kepada pihak Kurdi dan memastikan Muslim Sunni tidak merasa kehilangan haknya.

Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara persatuan antar pihak yang ada di Suriah.

Di sisi lain, presiden Koalisi Nasional Oposisi Suriah, Anas al-Abdah mengatakan bahwa transisi politik merupakan tujuan bersama yang telah diterima oleh semua pihak.

"Jika ada yang mencoba 'berpaling' dari keputusan itu akan menimbulkan bahaya dan menjadi tiak produktif," ujar Anas.

"Devolusi tidak bisa menjadi satu-satunya poin dalam penyelesaian masalah dan hal itu juga tidak bisa menggantikan kunci tuntutan utama Suriah: bahwa Assad telah membunuh ratusan ribu rakyatnya sendiri dan harus mundur dari jabatannya. Dan dia jelas tidak bisa menjadi bagian dari masa transisi atau masa depan Suriah," kata Anas.

Sebelumnya Staffan memimpin proses perdamaian di Suriah selama setengah tahun pertama. Namun usaha itu akhirnya putus di tengah jalan karena rusaknya hubungan kerja sama antara Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov.

Rusia bersikeras mendukung presiden Suriah, Bashar al-Assad, sementara AS mengatakan Assad harus turun dari jabatannya dalam transisi politik.

Usulan tersebut pernah diperintahkan Dewan Keamanan PBB, tapi pemerintahan Assad menolak untuk mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan pelengseran jabatan.

Sementara itu, banyak kelompok khawatir 'kedekatan' Trump dengan Vladimir Putin akan mengakibatkan AS berhenti mendukung koalisi oposisi dan lebih memihak pada Assad.

Walaupun begitu, Staffan menerangkan bahwa walaupun Assad kini merasa 'tenang' karena didukung Rusia, hal itu tidak akan berlangsung selamanya.

"Presiden Putin sendiri pernah mengatakan kepadaku. . . . bahwa ia telah mengatakan pada Presiden Assad dua kali: 'Dengar, kami membantumu, namun ada waktunya di mana kami berharap Anda melaksanakan devolusi politik," kata Staffan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini