Sukses

Ini Alasan Nenek Moyang Kita Beralih dari Poligami ke Monogami?

Sebuah penelitian mengungkap berubahnya sistem poligami menjadi monogami pada zaman prasejarah berkaitan dengan penyakit menular seksual.

Liputan6.com, Waterloo - Poligami, sistem perkawinan di mana salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu bersama, ternyata dianggap menjadi hal yang biasa dalam masyarakat yang hidup pada zaman prasejarah.

Namun, seperti yang dilansir Atlas Obscura, 10 ribu tahun lalu hal tersebut mengalami perubahan. Para nenek moyang kita yang tadinya terbiasa dengan sistem poligami berubah menjadi monogami.

Awalnya, ilmuwan mengira bahwa perubahan tersebut terjadi karena munculnya pertanian dan hal-hal lain yang diciptakan oleh manusia seiring modernitas.

Tetapi sebuah penelitian terbaru menduga, perubahan dari poligami menjadi monogami berkaitan erat dengan sexually transmitted infections (STIs) atau penyakit menular seksual (PMS).

Berdasarkan penelitian terbaru yang dipublikasi dalam jurnal Nature, kemunculan beberapa PMS memaksa pria dan wanita yang hidup dalam masa prasejarah mengembangkan kemitraan yang dibentuk oleh kelompok besar.

Seperti yang dikutip dari Ancient Origins, Kamis (14/4/2106), cara hidup baru dengan tekanan internal karena berhubungan dengan populasi yang sama, menyebabkan pembentukan standar sosial pertama dan mengakibatkan perubahan tersebut.

"Dalam masyarakat yang lebih kecil, PMS tak bertahan dalam jangka waktu lama, penyakit itu akan menghilang karena suatu peristiwa, yang juga sering terjadi pada kelompok kecil. Karena itu, poligami (dalam masyarakat kecil) tidak merugikan karena infeksi tak bertahan lama," ujar pemimpin penelitian dan ilmuwan di University of Waterloo Kanada, Chris Bauch.

"Di populasi yang lebih besar, infeksi dapat bertahan dan hal tersebut membuat poligami kurang menguntungkan daripada monogami, karena tingkat infeksi rata-rata lebih tinggi pada kelompok yang melakukan poligami daripada monogami," jelas Bauch.

Pada zaman prasejarah, poligami menjadi hal yang normal (Foto: biopharmconsortium.com).

Para peneliti menggunakan sebuah model yang berdasar kepada variabel berbeda untuk menyimulasikan bagaimana penyakit menular seksual mempengaruhi masyarakat primitif.

"Kami menyimulasikan populasi masyarakat berburu dan petani yang berperan menurut aturan tertentu, serta melihat bagaimana infeksi dapat menyebar di antara individu menurut aturan tersebut. Hampir mirip dengan permainan di komputer" ujar Bauch.

Hingga saat ini, hal tersebut sesuai, mengingat kelompok manusia pertama melakukan kegiatan berburu. Pada masa itu poligami merupakan hal yang normal dan dapat meningkatkan jumlah keturunan.

Masyarakat berburu (Foto: texasbeyondhistory.net).

Dalam masyarakat yang baru terbentuk dan berukuran kecil, dengan jumlah maksimum 30 orang, wabah penyakit menular seksual hanya berlangsung dalam waktu singkat dan tak menyebabkan dampak besar pada para anggotanya.

Namun, pada kelompok masyarakat yang lebih besar, infeksi tersebut menjadi endemik alias wabah--bertahan di tempat tertentu. Hal tersebut dengan sendirinya akan memberi dampak pada kesuburan dan kelangsungan hidup mereka.

"Kami tak memiliki banyak informasi tentang prevelansi (jumlah keseluruhan) penyakit menular seksual pada populasi prasejarah, walaupun terdapat contoh wabah penyakit PMS dalam kelompok berburu yang terisolasi saat ini," ujar Bauch.

"Kami dapat menggunakan data dari populasi moderen untuk menguji model, hal tersebut akan menjadi proyek masa depan dalam area riset ini," tambahnya.

Ilustrasi masyarakat moderen (Foto: Reuters).

Bauch juga mengatakan bahwa implikasi dari penelitian untuk masyarakat saat ini bervariasi, namun ia menekankan akan pentingnya memahami terbentuknya norma-norma sosial yang terjadi sekarang.

"Manusia dipengaruhi oleh transmisi, tetapi mereka juga berubah dengan mengubah perilakunya. Mereka melayani tujuan dan berkembang dalam menanggapi lingkungan alam. Tak hanya lingkungan yang mempengaruhi kita, namun kita juga mempengaruhi lingkungan," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini