Sukses

KOLOM: Ketika Serie A Menjadi Serie J

Serie A seakan jadi milik Juventus saja, apakah sudah berubah jadi serie J?

Liputan6.com, Jakarta - Bukan serie A, tapi Italia yang kini menggenggam Eropa. Empat pelatih asal negeri pizza itu sanggup meraih gelar juara. Antonio Conte di Inggris, Carlo Ancelotti di Jerman, Massimo Carrera di Rusia, dan tentu saja Massimiliano Allegri di Italia. Di Inggris, liga terglamor, ini untuk kali kedua secara beruntun orang Italia membawa klubnya berjaya. Musim lalu, Claudio Ranieri yang meraih trofi bersama Leicester City.

Prestasi itu tentu membanggakan siapa saja yang memuja sepak bola Italia. Ini menunjukkan kualitas pelatihan pelatih di negeri pizza memang istimewa. Sekolah pelatih sepak bola di Coverciano pun sontak dilirik dan dibedah banyak media massa.

Meskipun begitu, Italia tak bisa terlalu jemawa dan menepuk dada. Prestasi para pelatih negeri itu tidaklah mencerminkan kebangkitan sepak bola Italia yang sesungguhnya. Di dalam negeri, sepak bola bisa dikatakan mati suri. Sebabnya apa lagi jika bukan dominasi Juventus yang seolah tak mungkin terhenti.

Para pemain Juventus merayakan gelar Scudetto yang ke-33 usai mengalahkan Crotone pada laga Serie A di Stadion Juventus, Turin, Minggu (21/5/2017). (EPA/Alessandro Di Marco)

LE6END. Akhir pekan lalu, Juventus menjadi legenda dengan merebut Scudetto untuk kali keenam secara beruntun. Inilah kali pertama sebuah klub menjuarai Serie-A dalam rentang waktu terlama. Sebelumnya, paling hanya lima musim berturut-turut.

Mungkin karena Juventus bukan Bayern Muenchen dan Serie-A juga bukan Bundesliga, tak banyak orang yang bersungut-sungut. Kebanyakan orang merasa nyaman dengan kesuksesan Juventus tersebut. Mereka tak peduli I Bianconeri selalu merebut trofi. Mungkin karena sudah terpatri bahwa Bundesliga hanya dikuasai Bayern, sedangkan Serie-A adalah liga paling kompetitif karena keberadaan Il Sette Magnifico.

Pemain Juventus mengangkat trofi merayakan gelar juara Liga Italia usai pertandingan melawan Crotone di Juventus Stadium, Turin, (21/5). Bagi Juveventus, ini merupakan scudetto ke-33 atau yang keenam secara beruntun. (AP Photo/Antonio Calanni)

Padahal, Serie-A saat ini justru dalam keadaan yang lebih kritis dibandingkan Bundesliga. Bukan hanya karena dominasi Juventus yang lebih kuat dibanding Bayern, melainkan juga karena ketiadaan klub-klub yang menjadi ancaman nyata bagi sang petahana. Napoli dan AS Roma hanya konkuren semu belaka. Keduanya hanya memiliki hasrat besar, namun tenaga kurang.

Peta persaingan di kompetisi tertinggi di Italia itu pun mulai stagnan. Tiga dari empat musim terakhir serie A, posisi 3-besar dikuasai Juventus, Napoli, dan Roma. Itu pun selalu saja La Vecchia Signora unggul jauh pada pengujung musim. Hanya musim ini keunggulan Juventus cuma empat poin. Itu sangat mungkin karena I Bianconeri lebih fokus ke Liga Champions. Sebelumnya, mereka setidaknya unggul sembilan angka dari sang runner-up.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cahaya Baru

Bila Bundesliga disebut Bayern-Liga karena dalam lima musim terakhir selalu dijuarai Bayern, kiranya tidaklah keliru andai ada yang melabeli Serie-A sebagai Serie-J karena Juventus yang jadi serial champions enam musim berturut-turut. Kondisi ini potensial membuat Serie-A terancam membosankan. Bahkan mungkin lebih membosankan dari Bundesliga.

Walaupun masih dikuasai Bayern, Bundesliga setidaknya mampu memunculkan cahaya-cahaya baru. Tidak ada pola khusus yang terbentuk dalam persaingan ke zona Liga Champions. Bahkan Borussia Dortmund saja sempat tersingkir dari zona ini. VfL Wolfsburg, Borussia Moenchengladbach, FC Schalke 04, dan Bayer Leverkusen bergantian menjadi wakil Jerman di Liga Champions.

Musim ini, bahkan dua tim antah-berantah, RasenBallsport Leipzig dan TSG 1899 Hoffenheim, bisa finis di 4-besar dan merebut tiket ke Liga Champions. Bila tak ada aral, keduanya akan menjadi debutan di kompetisi antarklub tertinggi di Eropa tersebut pada musim depan. Maklum, nasib Leipzig masih harus ditentukan putusan UEFA menyangkut status kepemilikan yang sama dengan Red Bull Salzburg.

Serie-A butuh klub-klub macam Leipzig dan Hoffenheim ini. Patut dicatat, kali terakhir tim semenjana finis di zona Liga Champions adalah Udinese pada 2011-12. Tak sekadar lolos ke Liga Champions, Leipzig dan Hoffenheim adalah kekuatan baru yang teguh mempertahankan prinsip. Keduanya sama-sama menumpukan kekuatan kepada pemain-pemain muda. Meski relatif memiliki finansial lebih baik dari kebanyakan klub Jerman, mereka tak silau oleh kilauan bintang di angkasa. Leipzig bahkan berani menampik saran Uli Hoeness, bos Bayern, soal pentingnya menyeimbangkan tim dengan keberadaan pemain senior.

Para pemain Hoffenheim merayakan gol ke gawang Bayern Munchen pada laga Bundesliga di Rhein-Neckar Arena, Sinsheim, Selasa (4/4/2017). (AFP/Thomas Keinzle)

Tentu akan sangat menarik bila ada tim promosi dari Serie-B yang bisa langsung menggebrak di Serie-A. Patut dicatat, Hoffenheim pada 2008-09 juga melesat walau tak sefenomenal Leipzig. Hoffe kala itu berhasil menjadi herbstmeister atau juara paruh musim.

Akan tetapi, tentu sulit berharap kejutan seperti itu. Dalam beberapa musim terakhir, Serie-A diramaikan oleh klub-klub debutan atau klub yang telah lama absen. Namun, tak satu pun yang mampu menggebrak. Musim ini, Crotone dan Pescara harus kembali ke Serie-B. Sassuolo yang mengejutkan dengan finis di posisi ke-6 musim 2015-16 pun musim ini hanya menghuni papan tengah.

Musim depan, harapan kemunculan cahaya baru juga masihlah tipis. SPAL yang kembali promosi ke Serie-A setelah 49 tahun rasanya tak bisa terlalu diharapkan. Memang benar, klub ini mampu promosi secara beruntun dalam dua musim, namun mereka tak menunjukkan indikasi seperti yang ditunjukkan Leipzig dan Hoffenheim yang bahkan sejak di kasta kedua dan ketiga pun dinilai akan jadi kekuatan baru.

3 dari 3 halaman

Kekuatan Lama

Mengingat kelip cahaya baru belumlah tampak, harapan untuk kembali melihat Serie-A yang sangat kompetitif dan tak hanya dikuasai satu klub kini tertumpah kepada kekuatan lama. Selain Napoli dan Roma, harapan itu juga ada di pundak Lazio, Internazionale, dan AC Milan. Khusus duo klub Milan, tentu saja tak terlepas dari keberadaan pemilik baru.

Tak bisa disangkal, bagi sebuah klub kuat yang mejan, kedatangan pemilik baru adalah harapan besar untuk bangkit. Di Premier League, resep ini sukses mengantar Chelsea dan Manchester City jadi kekuatan baru. Keduanya mampu mendobrak dominasi Manchester United yang begitu kuat di Premier League.

Meski demikian, pemilik baru bukan jaminan untuk bangkit dan berprestasi. Hanya pemilik dengan visi dan kemauan nyata yang bisa mendongkrak sebuah klub ke jajaran elite. Kesediaan menggelontorkan banyak uang bukanlah hal utama. Tengok saja AS Monaco yang tetap saja tak mampu menggoyang kedigdayaan Paris Saint-Germain kala Dmitry Rybolovlev mengucurkan banyak uang guna menggaet bintang-bintang besar. Monaco justru juara ketika berpaling kepada pemain-pemain muda serta meniru visi FC Porto dan Sevilla.

Gelandang AC Milan, Keisuke Honda (tengah), rayakan gol ke gawang Bologna bersama Riccardo Montolivo. Honda membantu AC Milan menang 3-0 di Stadio Giuseppe Meazza, Minggu (21/5/2017). (AP Photo/Matteo Bazzi)

Kekuatan lama Serie-A macam Milan dan Inter yang lagi-lagi gagal lolos ke Liga Champions perlu belajar banyak tentang hal itu. Secara khusus, mereka sepatutnya berpaling kepada Leipzig. Dietrich Mateschitz membangun Leipzig dengan sebuah visi yang jelas. Dia tak cuma menggelontorkan uang, tapi meletakkan dasar kuat dengan menggariskan kebijakan merekrut pemain-pemain muda dan berinvestasi pula di sektor junior.

Belajar dari kegagalan dalam beberapa musim terakhir, Inter dan Milan harus memikirkan kembali filosofi yang akan diusung ke depan. Pemilik baru harus menunjukkan visinya dengan memilih orang-orang yang tepat, bukan hanya di skuat, melainkan juga di manajemen. Mereka juga tak boleh lagi tergesa-gesa, harus sabar menanti performa orang-orang yang telah dipilih. Tak boleh ada lagi ketergesaan dalam memecat pelatih.

Inter Milan (Giuseppe Lami/ANSA via AP)

Hanya itulah yang bisa membuat Serie-A keluar dari ancaman stagnasi dan kematian. Perlu dicatat, membuat Serie-A kompetitif bukan cuma tugas Juventus. Itu juga kewajiban klub-klub lain, baik kekuatan lama maupun maupun debutan. Merekalah yang harus mengejar Juventus, bukan lantas sang petahana yang harus memperlambat larinya.

Patut diingat, seperti halnya Bayern di Bundesliga, Juventus tidak berkewajiban menurunkan standar, mengurangi target, dan melemahkan diri demi membuat gap dengan para konkuren lebih dekat sehingga Serie-A menjadi lebih ketat. Mereka justru harus tetap bertahan di jalan yang tengah ditempuhi saat ini.

Ini penting karena La Vecchia Signora tak semata berkompetisi di Italia. Mereka juga berjibaku di pentas Eropa. Tim-tim teras Benua Biru macam Real Madrid, Barcelona, dan Bayern adalah rujukan mereka untuk juga berjaya di sana.

Bila klub-klub lain di Italia tak mampu melecut diri, siap-siap saja menyaksikan Juventus juara hingga sepuluh musim beruntun. Apalagi, tak seperti di Bundesliga, dominasi yang terlampau kuat dari sebuah klub di Italia tidak jadi masalah bagi banyak orang.

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini