Sukses

KOLOM: Menakar Trofi Ancelotti di Muenchen

Simak ulasan Asep Ginanjar terkait misi Carlo Ancelotti di Bayern Muenchen musim ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pekan ini, Bundesliga musim 2016-17 mulai bergulir. Seperti musim-musim sebelumnya, lagu yang sama berkumandang. Lagu tentang tak akan terbendungnya Bayern Muenchen dalam perburuan juara. Mayoritas pelatih klub-klub Bundesliga lagi-lagi sepakat akan hal itu. Kali ini, hanya Pal Dardai (Hertha BSC) dan Viktor Skripnik (Werder Bremen) yang tak menjagokan Bayern Muenchen. Mereka sama-sama memfavoritkan Bayer Leverkusen.

Lothar Matthaeus, eks kapten timnas Jerman, dalam kolomnya di SportBild juga secara gamblang memprediksi Bayern akan kembali juara seperti musim lalu. “Bayern akan memenangi Bundesliga untuk kali kelima secara beruntun dengan keunggulan 10 poin,” kata dia. “Ada tiga alasan. Pertama, skuat mereka kian kuat. Kedua, Carlo Ancelotti membawa dorongan baru bagi tim. Ketiga, Uli Hoeness kembali.”

Merebut gelar juara Bundesliga memang termasuk keharusan bagi Bayern. Setiap musim, kata Thomas Mueller, target Die Roten selalu sama, yakni memenangi semua kompetisi yang diikuti. Jadi, bukan sebuah keistimewaan bagi Ancelotti bila pada akhir musim nanti timnya memang finis di posisi teratas.

Untuk bisa disebut sukses, Ancelotti harus mengguratkan hal luar biasa. Unggul sepuluh poin atau sama dengan musim lalu seperti yang diprediksi Matthaeus tentu bukan catatan istimewa. Beda halnya bila sanggup melewati rekor keunggulan 25 poin yang ditorehkan Jupp Heynckes pada 2012-13.

Akan lebih hebat lagi bila Bayern bisa melakoni musim tanpa kekalahan. Sepanjang sejarah Bundesliga, belum pernah ada klub yang juara tanpa mengalami sekali pun kekalahan. Josep Guardiola sebenarnya hampir saja mengguratkan sejarah itu andai tak “melepas” partai-partai sesudah Bayern memastikan juara pada 2013-14.

Bayern Muenchen (REUTERS/Hannibal Hanschke)

Mengingat Bayern musim ini berhasil mendatangkan Mats Hummels, kans Die Roten untuk unbeaten di Bundesliga terbilang besar. Bukankah beberapa pihak menilai kombinasi Hummels dengan kapten Lahm, Jerome Boateng dan David Alaba di pertahanan Bayern akan membuat kiper Manuel Neuer bisa berleha-leha di bawah mistar gawang?

Efek kehadiran Hummels ini sangat layak untuk dinantikan. Patut dicatat, musim lalu saja Bayern hanya kebobolan 17 gol sepanjang musim dan Neuer tak kebobolan dalam 20 pertandingan. Seiring kedatangan Hummels, sangat pantas bila ada yang membayangkan Bayern kebobolan lebih sedikit lagi atau malah tak kebobolan sepanjang musim.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Melewati Guardiola

Di samping guratan rekor baru, hal luar biasa yang perlu dilakukan Ancelotti tentu saja melewati prestasi Guardiola, sang pendahulu. Setidaknya ada dua hal yang bisa membuat Ancelotti segera disebut lebih baik dari pelatih asal Katalonia tersebut.

Pertama, tentu saja menjuarai Liga Champions. Dalam tiga musim di Bayern, Guardiola selalu gagal mempersembahkan trofi Big Ear. Die Roten selalu kandas di semifinal, disingkirkan klub-klub asal Spanyol yang mestinya sudah sangat dipahami Guardiola.

Ancelotti punya modal baik di ajang ini. Sebagai pelatih, tiga kali dia merebut trofi Big Ear. Bersama Bob Paisley, dialah pelatih dengan koleksi trofi Liga Champions terbanyak. Ketika Bayern memastikan dia sebagai pengganti Guardiola, publik sepak bola pun mafhum bahwa Die Roten kali ini membidik Liga Champions.

Hal kedua adalah meraih treble winners. Dalam tiga musim, ini juga gagal digapai Guardiola. Padahal, dengan warisan skuat hebat yang merebut treble winners musim 2012-13, dia sangat diharapkan para fans untuk mengulangi hal itu, setidaknya sekali saja selama di Bayern.

Josep Guardiola dan Ribery (REUTERS/Michael Dalder )

Guardiola memang sempat mengatakan,dirinya bukan sosok yang tepat jika Bayern menginginkan treble winners setiap musim. Namun, pada musim terakhirnya, dia secara gamblang mengakui, hanya treble winners yang akan membuatnya disebut sukses di Bayern. Hal serupa tentunya berlaku bagi Ancelotti.

Secara pribadi, treble winners seharusnya menjadi target menarik bagi Carletto. Sepanjang kariernya sebagai pemain dan pelatih yang diwarnai banyak trofi, prestasi terbaiknya hanyalah double winners. Tiga kali dia nyaris membukukan treble winners. Semuanya saat berstatus pelatih.

Pada 2002-03, di AC Milan, treble winners gagal diraih karena kegagalan juara di Serie-A. Itu sama dengan musim 2013-14 di Real Madrid. Carletto hanya sanggup membawa Los Blancos juara Liga Champions dan Copa Del Rey. Sementara itu, di Chelsea pada 2009-10, giliran trofi Big Ear yang gagal direngkuhnya.

3 dari 3 halaman

Terlalu Ramping

Mencetak rekor baru di Bundesliga, menjuarai Liga Champions, hingga merebut treble winners bukan kemustahilan bagi Ancelotti bersama Bayern. Meski begitu, itu tidaklah mudah. Di Bundesliga saja, rasanya terlalu naif untuk membayangkan Bayern akan melenggang mulus ke tangga juara.

Seperti dikatakan Mueller, tidak ada yang pasti di sepak bola. Kadang kala bermain bagus saja masih kalah. Ancelotti pun mengakui hal itu. Menurut dia, satu-satunya hal yang tak bisa dikontrol dalam pertandingan adalah hasil akhir.

Apalagi Bayern tidak bisa disebut sempurna. Satu ancaman laten yang mengintai mereka adalah skuat yang terlampau ramping. Total 25 pemain di tim utama memang terbilang ideal. Namun, karena belakangan ini hantu cedera selalu bergentayangan di Saebener Strasse dan Allianz Arena, 25 pemain terbilang terlalu sedikit.

Saat menghadapi Borussia Dortmund di Piala Super Jerman saja, Franck Ribery adalah satu-satunya winger yang sehat. Itu karena Arjen Robben, Douglas Costa, dan Kingsley Coman dirundung cedera. Di jantung pertahanan pun cuma Hummels dan Javi Martinez yang bugar karena Jerome Boateng dan Holger Badstuber dalam tahap pemulihan.

Mengingat Ribery, Robben, Badstuber, Martinez, dan Thiago Alcantara terbilang rentan cedera, sangat mungkin Bayern menghadapi krisis pemain pada saat-saat tertentu. Ini tentu berbahaya, terutama ketika kiprah di Liga Champions dan DFB Pokal sudah mendekati final. Harapan juara bisa kandas begitu saja.

Bayern Muenchen Vs Dortmund (REUTERS/Kai Pfaffenbach)

Meskipun terlihat mentereng, skuat Die Roten sebetulnya tidak memiliki kedalaman yang bagus. Terutama talenta muda yang menjadi pelapis. Kualitas Julian Green, Fabian Benko, dan Niklas Dorsch tidaklah istimewa. Mereka tidak seperti Christian Pulisic dan Felix Passlack di kubu Dortmund yang terbukti bisa diandalkan.

Soal kedalaman skuat, Dortmund memang lebih baik. Dua laga dalam sehari yang dilakoni pada 15 dan 23 Agustus lalu adalah buktinya. Meski pelatih Thomas Tuchel menurunkan dua line-up berbeda, permainan Die Schwarzgelben sama-sama rancak.

Itu tak terlepas dari investasi nyaris 110 juta euro pada periode transfer musim panas. Tujuh pemain yang didatangkan memang bukan nama-nama semenjana. Bukan tak mungkin, kedalaman skuat inilah yang lantas membawa Dortmund mengakhiri kedigdayaan Bayern di Bundesliga.

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi kolom ini @seppginz.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini