Sukses

Jenderal Diktator, Muara Rivalitas El Clasico

persaingan kedua kubu telah lama terjadi dan menjadi warisan laga La Liga yang telah turun temurun

Liputan6.com, Partai sengit El Clasico antara dua tim yang disegani di Barcelona dan Real Madrid tidak hanya sekadar memperbutkan poin penuh.  Tetapi mempertaruhkan harga diri dibalut kepentingan politik wilayah masing-masing tempat klub bernaung.

Secara harafiah, pertandingan ini disebut The Classic atau dalam bahasa Indonesia berarti 'kuno'. Itu artinya, persaingan kedua kubu telah lama terjadi dan menjadi warisan laga La Liga yang telah turun temurun. Dilansir dari situs Ensiklopedia, Wikipedia, duel ini pertama kali terjadi 17 Februari 1929. Ketika itu, Madrid unggul dengan skor 2-1.

Namun, ada juga sumber yang menyebut, pertandingan ini pertama kali dihelat pada 1902 pada sebuah turnamen. Ketika itu untuk menghormati penobatan Raja Alfonso XII. Kepentingan politik sangat kental dalam pertandingan antara Madrid dan Barcelona di masa itu.

Puncaknya terjadi pada 1934, di mana Catalan yang menjadi bagian jajahan Spanyol. Muaranya terletak pada sosok diktator Jendral Francisco Franco. Dibantu kaum nasional dan Fasis Italia, Jendral Franco menaklukkan kaum Republikan dalam perang saudara.

Di masa bawah rezim Jendral Franco, pembantaian di Catalan kerap terjadi karena mayoritas penduduk belum bisa menerima Catalan menjadi bagian Spanyol.  Kekesalan warga Catalan semakin menjadi sang diktator melarang warga setempat menggunakan bahasa Catalan.

Bagaiaman reaksi Barcelona, sebagai klub sepakbola? Selanjutnya. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Barcelona melawan penjajah

Barcelona yang menjadi Ibukota Provinsi Catalonia menjadi camp konsentrasi sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap Jendral Franco. Kebencian terhadap pemimpin Spanyol itu bahkan ditunjukkan hingga lapangan hijau.  Barcelona tidak gentar ketika Jendral Franco lebih mengintimidasi ketika Barcelona menghadapi Madrid.

Tidak heran bila permusuhan itu terus mengakar dan menjadi bumbu rivalitas kedua kubu hingga kini. Bisa diambil kesimpulan, El Clasico bukan sekadar pertandingan 11 melawan 11. Lebih dari itu, ini menjadi ajang perlawanan bangsa Catalan terhadap kekejaman Jendral Franco.

Dilansir dari SB Nation, gesekan antar kedua kubu mencapai titik didih. Gara-garanya transfer pemain bintang asal Argentina waktu itu, Alfredo di Stefano. Sang pemain memilih memperkuat Spanyol atas intervensi dari Jendral Franco. Sejak saat itu, Barcelona dan Madrid saling 'telikung' pemain.

Luis Figo menjadi contoh kasus nyata. Pemain asal Portugal itu dilempar kepala Babi ketika mengambil sepak pojok. Pemain yang dielu-elukan publik Camp Nou itu berkhianat ke Madrid pada 2000. Di era sepakbola modern, kedua tim juga saling berlomba-lomba membeli pemain bintang. Neymar dan Gareth Bale menjadi contoh konkret, persaingan kedua kubu juga terjadi di bursa transfer.

Menatap El Clasico edisi ke-169, Sabtu (25/10/2014) secara head to-head Madrid  masih unggul dengan memetik 70 kemenanangan dari 168 partai El Clasico di ajang La Liga, termasuk ketika Los Galacticos menghabisi Barcelona 11-1 pada 3 Februari 1942. Sedangkan, Barcelona meraih 66 kemenangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini