Sukses

Isu Indonesia Bubar 2030, Ini Kata Ekonom INDEF

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan heboh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang mengatakan Indonesia bubar 2030 kini mendadak banyak diperbincangkan orang. Beberapa pihak menilai, ucapan Prabowo itu belum kuat karena tidak disertai data riset terpercaya.

Dalam pidatonya, mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat itu turut menyinggung soal aset milik negara yang hanya dikuasai 1 persen saja. Begitu juga kekayaan Indonesia, yang dikatakannya banyak dibawa dan dimanfaatkan ke luar negeri.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyayangkan sumber omongan Prabowo Subianto yang hanya berasal dari novel fiksi berjudul Ghost Fleet.

"Jadi sebelum membuat ramalan, sebaiknya disertai hasil riset lengkap dan lembaga risetnya dipublikasikan ke publik. Sehingga masyarakat bisa cek kredibilitas datanya," ungkap dia ketika dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Namun begitu, ia membenarkan ucapan Prabowo Subianto soal ketimpangan ekonomi negara. Menurut riset Credit Suisse, 1 persen orang terkaya dalam negeri menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, sehingga membuat Indonesia jadi negara nomor empat paling timpang di dunia.

Mengutip data data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013, dia menyampaikan gini rasio lahan juga cukup tinggi, yakni dikisaran 0,68. Angka tersebut lebih tinggi dari gini rasio ketimpangan yang 0,39.

 "Artinya, ketimpangan lahan memang sudah parah," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Bhima pun turut memberikan data-data mengenai kekayaan bangsa yang dikuasai oleh asing, seperti sekitar 70 persen wilayah kerja minyak dan gas di Indonesia yang dimiliki oleh kontraktor asing, sampai 55 persen pasar modal dalam negeri yang dipunyai asing.

Ketika dimintai tanggapan mengenai kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila kondisi itu berlanjut, dia menjawab itu bisa membuat gejolak sosial, adanya potensi konflik horizontal dan vertikal, serta pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menurunkan ketimpangan.

"Tapi chaos belum tentu bubar. Kita pas 1998 kerusuhan, tapi setelah itu pemerintahan bisa tegak kembali. Enggak sampai failed state," tutur dia.

"Mungkin pak Prabowo sekadar ingin kasih warning agar masalah ketimpangan ini jadi isu sentral dalam pembangunan ekonomi," pungkas Bhima.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.