Sukses

Rupiah Terpuruk, Proyek Infrastruktur Terancam Mandek?

Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan hingga sempat menyentuh level Rp 13.521 per dolar Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan hingga sempat menyentuh level Rp 13.521 per dolar Amerika Serikat (AS). Depresiasi kurs ini dapat mengakibatkan beberapa proyek infrastruktur mandek, karena perusahaan tak lagi mampu menanggung biaya impor bahan bangunan yang membengkak.

Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan SDM Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Dandung Sri Harninto mengungkapkan, ‎pelemahan rupiah telah berdampak pada peningkatan ongkos proyek infrastruktur. Pasalnya, bahan bangunan untuk proyek infrastruktur masih dominan impor.

"Pasti ada dampaknya. Jalan tol Trans Sumatera misalnya, sudah kita coba hitung komponen impornya 60 persen. Jadi tergantung teknologi, metode yang digunakan. Perkiraan saya, komponen impor proyek simpang susun Semanggi ‎60 persen, dari dalam negerinya tidak lebih dari 40 persen," kata dia saat ditemui di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Dandung ‎lebih jauh menerangkan, perusahaan konstruksi maupun penyuplai bahan bangunan mulai ketar-ketir bila depresiasi rupiah sudah mencapai 10 persen. Dia beralasan, perusahaan biasanya mengambil marjin atau keuntungan 10 persen sampai 20 persen.

"Ketika rupiah sudah melemah lebih dari 10 persen, sedangkan marjin cuma 10 persen, ya kita jadi nombok. Harga bahan-bahan kan naik, akhirnya tidak bisa suplai dan proyek bisa stuck atau mandek," tuturnya.

"BUMN biasanya suka bayar seenaknya. Kita sudah suplai, tapi bayarnya 6 bulan kemudian. Kita utang di bank 15 persen, jadi nanggung bunga 7 persen selama 6 bulan. Kita ambil untung 20 persen, buat bayar bunga 7 ‎persen dan fluktuasi rupiah 10 persen. Habis dong, mending tidak usah ambil dan proyek juga bakal selesai," tambah Dandung.

Selain pelemahan kurs rupiah, diakuinya, penyebab proyek infrastruktur mandek adalah tersandung masalah pembebasan lahan dan pengadaan beberapa item teknologi atau barang yang tidak tersedia di dalam negeri atau kapasitas yang kurang.

"Jadi dari pengamatan saya banyak proyek itu berhenti karena tidak ada material atau bahan bangunan, serta masalah pembebasan lahan," imbuh Dandung.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.