Sukses

KKP Tegaskan Pelaku Perbudakan ABK adalah Pihak Asing

Sepanjang pemantauan Kementerian Kelautan, tidak ditemukan kasus perbudakan di industri perikanan di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut P. Hutagalung mengatakan bahwa praktik perbudakan merupakan kejahatan kemanusiaan‎ yang tidak dapat ditolerir dan jelas merugikan negara.

Pernyataan tersebut dilontarkan menanggapi adanya berita investigasi dari sebuah media internasional pada 25 Maret 2015 lalu yang mengungkapkan bahwa terjadi perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) yang dilakukan oleh kapal-kapal Thailand yang dioperasikan oleh PT Pusaka Benjina Resources berlokasi di Benjina, Maluku. Kapal tersebut melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia untuk perusahaan di Thailand.

"Dengan adanya pemberitaan itu, dikhawatirkan hal ini membuat nama Indonesia menjadi tercemar, makanya kami (KKP) menolak  perbudakan pada usaha perikanan di Indonesia," ujarnya dalama keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Dia menjelaskan, Laporan investigasi yang berjudul 'Are slaves catching the fish you buy' menjelaskan bahwa terjadi perbudakan warga negara Burma sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di atas kapal-kapal Thailand yang beroperasi di perairan Indonesia. Hasil tangkapannya antara lain kakap merah dan udang yang dibawa ke Thailand untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan.

"Yang jelas kapal penangkap yang disebutkan dalam laporan tersebut bukanlah kapal Indonesia," lanjutnya.

Menurut Saut, KKP juga konsisten mewujudkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. Pelaku usaha perikanan diminta untuk terus memenuhi persyaratan pasar seperti keamanan pangan, keberlanjutan dan ketertelusuran dan hal-hal terkait kepatuhan sosial seperti ketenagakerjaan.

Terkait kesejahteraan tenaga kerja termuat dalam persyaratan social compliance yang tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Kepatuhan sosial merupakan persyaratan pasar global yang pada 2 tahun hingga 3 tahun terakhir makin menguat dan mendapat perhatian mulai dari hulu hingga hilir.

Secara khusus aturan ketenagakerjaan bidang perikanan dan kelautan di Indonesia pada umumnya mengacu pada ketentuan Menteri Tenaga Kerja RI dan ketentuan khusus Menteri Perhubungan RI seperti Keputusan Menhub Nomor 9 Tahun 2005 serta mengacu pada konvensi internasional di bidang ketenaga-kerjaan perikanan dan kepelautan seperti ketentuan IMO - STCWF 1995.

"Perbudakan sebagai kasus khusus ketenagakerjaan merupakan hal terlarang di Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Perbudakan itu tidak beradab oleh karena itu kami tolak," tegas dia.

Sepanjang pemantauan yang dilakukan oleh KKP dan kementerian dan lembaga terkait, tidak ditemukan kasus perbudakan di industri perikanan di Indonesia baik di usaha pembudidayaan ikan, penangkapan ikan dan pengolahan atau pemasaran hasil perikanan.

Khusus di bidang pengolahan dan pemasaran, tidak ditemukan kasus perbudakan di unit-unit pengolahan ikan (UPI), bahkan banyak UPI yang menerapkan ketentuan ketenagakerjaan di atas atau lebih tinggi dari standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja.

Semua UPI wajib memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan atau SKP (Good Manufacture Practices-Standard Sanitary Operational Procedure/GMP-SSOP) yang antara lain mengatur perlengkapan kerja, kondisi tempat kerja dan sudah sesuai dengan SKKNI atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

"Hal ini menegaskan investigasi media tersebut bahwa telah terjadi perbudakan dan kerja paksa oleh kapal-kapal ikan Thailand yang dioperasikan oleh PT Pusaka Benjina Resources di Benjina tidak terjadi di Unit Pengolahan Ikan yang beroperasi di wilayah Indonesia," jelasnya.

Selain diawasi oleh KKP dan instansi lain seperti Kementerian Tenaga Kerja melalui instansi terkait di daerah, UPI di Indonesia juga secara teratur, ada yang tiap tahun, dikunjungi tim buyers dari luar negeri.

"Terdapat 50 lebih UPI dan usaha perikanan tangkap yang ikut Program Perbaikan Perikanan (Fisheries Improvement Program) bersama 'Sustainable Fisheries Programme' suatu program sertifikasi internasional yang banyak dipersyaratkan buyers dan jaringan ritel di AS dan UE," tandasnya. (Dny/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.