Sukses

Lika-liku Hidup Soegiharto: Dari Kuli, Menteri Lalu Pertamina

Mulai dari pembantu rumah tangga, pedagang asongan, tukang parkir hingga kuli bongkar muat, semua profesi itu pernah digeluti Soegiharto.

Liputan6.com, Jakarta - Reporter: Septian Deny; Videografer: Dono

 

Dengan ketekunan, kesabaran dan doa, bisa membawa seseorang yang awalnya tidak punya apa-apa, menjadi orang yang punya harta berlimpah, bahkan bisa banyak membantu orang lain. Prinsip tersebut yang terus dipegang oleh Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Soegiharto.

Dalam sebuah kesempatan, pria berkacamata ini menceritakan bagaimana kisah hidupnya yang terlahir sebagai orang yang tidak berkecukupan dan kurang beruntung. Semasa kecil, sebagai putra Jawa namun kelahiran Pulau Sumatera, untuk dapat mengubah nasib, dia bersama-sama dengan saudara-saudaranya dibawa oleh orang tua untuk hijrah ke Jakarta.

Hidup di Jakarta, orang tua Soegiharto mencari nafkah dengan berjualan kacang dan keripik, serta sang ayah berjualan bubur ketan hitam, untuk membiayai tujuh orang anaknya yang sekolah.

"Saya waktu itu tahu betul bahwa orang tua saya sangat susah bahkan hanya untuk makan sehari-hari, kita dijatah, kadang hanya makan bubur, kadang puasa," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Kamis (15/5/2014).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Dari pedagang Asongan Sampai Tukang Parkir

Ketika duduk di bangku SMP, karena kesulitan ekonomi, orangtuanya terpaksa merelakan Soegiharto menjadi pembantu di sebuah rumah mewah di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Karena kejujurannya, dia sering mendapatkan tips, di mana uang tip tersebut dikumpulkan untuk dijadikan modal berdagang asongan, sambil tetap menjadi pembantu rumah tangga.

Saat itu, karena majikannya memiliki bioskop, dia juga ikut membantu menjaga parkir di bioskop tersebut pada malam hari setelah selesai bekerja. "Jadi ketika SMA, saya menjadi juru parkir sekaligus pelajar di SMAN 13," kata suami dari Tati Suhartini.


Dalam keremangan malam, di atas motor yang dia jaga, Soegiharto tetap belajar dan membaca. Hal ini dia lakukan tiap malam sambil menunggu bioskop tersebut selesai memutar film. Namun dia mengakui,  dengan IQ yang jongkok karena jarang makan makanan bergizi dan badannya yang kurus kering karena kurang protein, dia harus mengulang membaca hingga 10 kali baru mengerti apa yang dimaksud buku tersebut.

"Jadi begitu berat ketika itu, susahnya belajar," ungkap Pria kelahiran Medan, 29 April 1955 ini.


Namun di tengah kesulitan tersebut dia selalu teringat sebuah ungkapan yang berbunyi, 'Kalau bukan saya, siapa lagi, dan kalau bukan sekarang, kapan lagi'.

Maka dengan ungkapan itu, dia tetap bertekad untuk terus mengubah nasibnya paling tidak bisa mengurangi penderitaannya yang kurang makan dan tidak jatuh miskin lagi serta bisa membantu adik-adiknya yang masih sekolah.


Setelah lulus SMA dan meninggalkan pekerjaanya sebagai tukang parkir, Soegiharto sangat ingin melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia (UI), karena ketika itu dirinya lulus dengan predikat juara 2 di SMA-nya sehingga  pantasnya dia meneruskan kuliah di negeri terbaik di dalam negeri tersebut.

3 dari 5 halaman

Gagal Raih Beasiswa


Namun keinginan memang kadang tidak sejalan dengan kenyataan, karena tidak punya uang dan pada saat itu tidak ada beasiswa, maka dia kembali harus mengadu nasib menjadi kuli di Pelabuhan Tanjung Priok sambil terus menimba ilmu. "Jadi malam hari jadi kuli bokar muat, siang hari saya mencari tambahan ilmu pengetahuan dan ikut tes di mana-mana," tuturnya.


Setelah mengikuti banyak tes untuk mendapatkan pekerjaan dan akhirnya lulus, dia memulai karirnya dengan menangani pekerjaan buka peti pada sebuah pabrik mobil selama enam  bulan. Suatu ketika, saat dia tengah gelantungan di bus kota di Jalan MH Thamrin, di depan Gedung Bank Dagang Negara (BDN) yang sekarang menjadi kantor Bank Syariah Mandiri (BSM), Soegiharto pernah berdoa supaya diberikan kesempatan untuk bekerja di gedung yang pada saat itu tergolong mewah.

"Ya Allah ya Rob, bilang engkau memberikan kesempatan saya bekerja di gedung yang mewah ini, maka saya akan melipatgandakan kesyukuranku kepada-Mu," ungkapnya.

Dua minggu kemudian, ayah lima anak ini melihat iklan lowongan kerja pada sebuah koran dan melamar, ternyata kantor dari perusahaan yang dia lamar tersebut berada di Gedung BDN ini. Sejak saat itu dia berkeyakinan bahwa antara ketekunan, kesabaran dan doa memiliki hubungan yang linier.

Di perusahaan, Soegiharto bekerja dengan sungguh-sungguh. Dia masuk dari posisi paling bawah yaitu trainer hingga akhirnya menempati posisi direktur. Semua itu dijalankan dengan penuh semangat, karena dirinya tidak mau jatuh miskin lagi dan ingin bisa bantu saudara-saudaranya yang masih kurang mampu dan masih sekolah.

"Dengan tekad itu, pangkat saya makin cepat naik, gaji naik makin tinggi dan bonus selalu unggul dibanding dengan yang lain. Karena saya kerja di kantor konsultan dan auditor, maka dibayar berdasarkan prestasi, dan makin tinggi prestasi makin besar bonus dan cepat naik pangkat," jelasnya.

4 dari 5 halaman

Pilih Hidup Sederhana


Dengan memiliki pendapatan yang lumayan besar, Soegiharto berpikir bagaimana pola hidup terus pertahankan dengan sangat sederhana dan gaji yang meningkat, dirinya menyisihkan pendapatannya untuk menabung. Makanya dalam kiatnya sejak awal, yang merupakan kiat dari Bung Hatta, dia selalu berpegang pada ungkapan 'Rajin Pangkal Pandai, Hemat Pangkal Kaya', maka dia semakin gemar menabung, untuk mengubah nasib menjadi pengusaha.

"Saya ingin tangan saya diatas, ingin memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bekerja dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan ikut berbagi dengan rejeki saya," kata dia.

Dan sejak saat itu, dia mulai sukses menatap karir menjadi seorang profesional, bahkan ketika menjadi direktur keuangan dari perusahaan swasta, dirinya kemudia dipercayakan menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketiga untuk periode 2004-2007 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika menjadi seorang profesional, pada periode 2000-2004, dirinya mengaku mendapatkan mencapai Rp 6 miliar per tahun dengan kewajiban pajak sebesar Rp 2,1 miliar per tahun. "Saving gap semakin besar dan usaha saya juga semakin besar, lapangan pekerjaan yang bisa saya sediakan semakin banyak, saya merasa ini tidak boleh berhenti," jelasnya.

5 dari 5 halaman

Jadi Abdi Masyarakat



Maka hingga saat ini, selain mengabdi kepada masyarakat melalui posisinya yang menjabat Komisaris Utama Pertamina, yang memasok bahan bakar untuk negeri. Dirinya merasa bahwa Tuhan terus memberikan kemudahan dalam hal networking, karir yang tidak pernah susah dan secara teknikal mampu menguasai bidang dia geluti.

Di tengah kesibukan, Soegiharto juga membagi waktunya menjadi penguji untuk S3, untuk orasi di kampus-kampus, menjadi wali amanah di IPB dan kampus lain, juga menjadi penggiat sosial termasuk di ICMI, ESQ Leadership Center dan lain-lain. "Ini yang saya perankan saat ini dan menjadi ayah dalam keluarga," katanya.

Sebagai wujud kecintaanya pada pendidikan, lulusan Fakultas Ekonomi UI dan peraih gelar doktor cumlaude dari UGM pada 2008 ini, pun masih sempat mengejar gelar S3 di UGM dimana pada saat dirinya baru 2 minggu ditunjuk sebagai menteri.

"Saat itu cuma bergelar S2, saya langsung mendaftar ke S3 program UGM dan lulus dalam 2 tahun dengan status cumlaude. Saya ingin menunjukkan kepada generasi muda bahwa belajar itu tidak pernah selesai. Ketika ilmu itu ada saya sharing kemana-mana, karena orang wafat meninggalkan amal soleh, anak yang soleh dan ilmu yang bermanfaat," tandasnya. (Dny/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.